dede sumarni
31112780
3db10
MAKALAH PERBANKAN DI INDONESIA DALAM MEMFASILITASI
PERDAGANGAN LUAR NEGRI MENGGUNAKAN LC (Letter of Credit)
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Meningkatnya
ilmu pengetahuan dan tehnologi perhubungan khususnya pengangkutan dan
telekomunikasi pada masa sekarang ini maka perbedaan dan ketergantungan antara
negara tersebut tidak sulit lagi diatasi. Hasil atau produk yang
berlebihan dalam suatu negara dengan mudah ditawarkan pada layar kaca kecil
(televisi) melalui internet untuk dijual keluar negarI demikian pula
kebutuhan dalam suatu negara yang tidak dapat diproduk atau dihasilkan sendiri
dapat dibeli dari luar negeri.dengan mudah. Perdagangan antar negara
sekarang ini sudah merupakan hal yang umum dan biasa. Transaksi dapat
berjalan lancar dan dalam waktu yang tidak lama. Jika dibandingkan pada masa 15
tahun sebelumnya dimana peralatan dan sarana belum memadai sehingga untuk
melakukan suatu transaksi internasional membutuhkan waktu yang
lama. Peningkatan tehnologi dalam segala bidang ini sangat membantu
negara-negara yang membutuhkan bantuan negara lain untuk mengolahnya produk
yang dihasilkan dalam negerinya tetapi masih dalam bentuk setengah
jadi. Pedagang, dalam hal ini eksportir/penjual dan
importir/pembeli dalam melakukan transaksi melahirkan hak dan
kewajiban, baik bagi pihak eksportir maupun bagi pihak importir.
Eksporitr wajib menyerahkan barang sesuai dengan perjanjian dan berhak menerima
sejumlah pembayaran atas harga barang yang telah diserahkan/dijual.
Sedangkan importir wajib menyerahkan sejumlah uang untuk membayar atau melunasi
harga barang yang telah diterima/ dibeli dan berhak menuntut penyerahan barang
yang telah dibayar/dilunasi harganya tersebut.
Transaksi
perdagangan yang para pihaknya berada disuatu tempat yang sama dan saling
berhadapan, maka pemenuhan hak dan kewajibannya tidak mengalami banyak
masalah karena hak dan kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara
langsung (cash and carry). Akan tetapi apabila pembeli dan
penjualnya terpisah, antar negara, maka akan menimbulkan beberapa masalah
karena perbedaan-perbedaan yang antara lain :
–
perbedaan penerapan peraturan oleh sistem hukum masing-masing negara
Dalam perdagangan internasional sering terjadi
bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat terlaksana dengan baik disebabkan
adanya larangan dari Pemerintah setempat untuk membeli (mengimpor) atau menjual
(mengekspor) komoditi tertentu yang merupakan obyek jual beli.
–
perbedaan penggunaan mata uang dalam bertransaksi
Penggunaan mata uang
asing, nilai tukar mata uang asing tersebut terhadap mata uang setempat harus
diperhitungkan dengan cermat agar pihak pembeli tetap mampu membayar bila
terjadi devaluasi pada saat harus membayar harga barang yang diterima
atau pihak penjual tetap memenuhi standar mutu barang sesuai dengan perjanjian
meskipun harus mengalami kerugian.
–
perbedaan kebiasaan-kebiasaan umum termasuk istilah-istilah setempat.
Demikian pula dalam melakukan pembayaran
transaksi face to face , pembeli akan
melakukan pembayaran atas harga barang yang dibeli/diterimanya jika ia telah
merasa yakin bahwa kondisi barang yang diterimanya itu sudah sesuai dengan
kehendaknya, baik mutu maupun jumlahnya sehingga terjadilan pembayaran secara
tunai (cash payment) atau secara kredit. Dalam
perdagangan internasional, para pihak tidak berhadapan langsung dan barang yang
akan dibeli juga tidak dilihat atau diteliti secara langsung sehingga adalah
sangat berisiko tinggi apabila pembeli langsung melakukan pembayaran harga
barang yang belum diterima.
Di Indonesia, ketentuan perjanjian jual
beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Buku III Bab
V Burgerlijk Wetboek (BW).
Dari 83 pasal ini, tidak satupun pasal yang mengatur tentang cara pembayaran
yang harus digunakan dalam perdagangan. Hal ini disebabkan karena sistem
hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka dengan azas kebebasan
berkontrak, azas konsensualitas terbuka dan azas kekuatan mengikat dari
perjanjian. Ketentuan-ketentuan dalam BW hanya mengatur hal-hal pokok tentang perjanjian
jual beli yang umumnya bersifat pelengkap dan akan digunakan jika ada hal-hal
yang belum diatur pada perjanjian para pihak. Misalnya dalam Pasal
1478 BW diatur bahwa penjual tidak wajib menyerahkan
barang jika pembeli belum melakukan pembayaran. Apabila dalam perjanjian
jual beli antara penjual dengan pembeli disyaratkan bahwa penjual harus
menyerahkan barangnya terlebih dahulu kemudian setelah pembeli menerima barang
tersebut baru dilakukan pembayaran maka jika penjual menolak menyerahkan barang
dengan alasan pembeli belum membayar maka penjual dapat dianggap
wanprestasi.
Ketentuan mengenai pembayaran, hanya
disebutkan dalam pasal-pasal tentang kewajiban pembeli, yaitu Pasal 1513 BW, bahwa kewajiban utama Pembeli adalah membayar harga
pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian dan Pasal
1514 BW mengatur bahwa jika penentuan waktu dan tempat
tidak diperjanjikan maka akan dilakukan pada waktu terjadi penyerahan
barang. Jadi yang diatur hanya mengenai waktu dan tempat pembayaran bukan
cara pembayaran, sehingga para pihak bisa menentukan sendiri cara pembayaran
dalam perjanjian mereka.
Pembayaran pada
transaksi dunia perdagangan di samping dilakukan dengan cara tunai (cash
payment), dikenal pula beberapa cara lain, yaitu :
·
Pembayaran dimuka
(Advance Payment)
Pembayaran yang
dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli kepada penjual sebelum barang
diterima, bahkan barang tersebut belum dikapalkan. Dalam pembayaran ini
kedudukan antara pembeli dengan penjual tidak seimbang, artinya kedudukan
penjual sangat diuntungkan karena penjual telah menerima pembayaran dari barang
yang belum dikirim sedang pembeli menghadapi risiko pengiriman barang yang
sepenuhnya tergantung dari penjual.
·
Pembayaran Kemudian
(Open Payment)
Pembayaran ini
kebalikan dari pembayaran dimuka, dimana pembayaran baru akan dilakukan oleh
pembeli setelah menerima barang yang dipesannya. Dalam pembayaran ini
kedudukan pembeli lebih diuntungkan karena pembeli telah menerima barang yang
belum dibayar sehingga penjual akan menghadapi risiko pembayaran yang
sepenuhnya tergantung pada pembeli. Pembayaran ini sering juga
dikenal dengan istilah Open Account.
·
Collection
Draft (Wesel Inkasso)
Pembayaran hanya akan
dilakukan oleh pembeli kepada penjual jika pembeli telah menerima
dokumen-dokumen barang baik berupa financial document maupun
commercial document yang dikirim oleh penjual.
·
Konsinyasi
(Consigment)
Pembayaran akan
dilakukan oleh pembeli jika barang yang dititipkan oleh penjual sudah terjual
semuanya. Jadi pembeli dalam hal ini hanya sebagai tempat penitipan untuk
menjualkan barang. Apabila barang yang dititip jual tersebut belum
terjual maka penjual tidak bisa menuntut pembayaran dari pembeli meskipun
barang tersebut telah lama berada ditangan pembeli. Pembayaran ini jelas
lebih menguntungkan pembeli, karena pembeli tidak perlu menyediakan modal dan
tidak menghadapi risiko kerugian akibat barang yang dijualnya tidak laku.
Kebalikannya, penjual menghadapi risiko pembayaran yang sangat tergantung
kepada niat baik pembeli.
·
Surat Kredit
Berdokumen (Letter of Credit)
Surat Kredit Berdokumen atau Letter of Credit yang biasa disingkat dengan
L/C, merupakan surat yang diterbitkan oleh bank atas nama nasabahnya yang
bertindak sebagai pembeli untuk kepentingan penjual/beneficiary, yang berisikan
kesanggupan membayar sejumlah tertentu kepada penjual/beneficiary melalui bank
beneficiary jika beneficiary melengkapi semua dokumen yang disebutkan dalam L/C
tersebut dan menyerahkannya kepada bank beneficiary.
Dari berbagai cara pembayaran yang dikenal
dalam dunia perdagangan maka cara pembayaran dengan letter of credit lah yang paling menguntungkan
kedua belah pihak karena kedudukan pembeli / importir maupun penjual /
eksportir seimbang. Impotir menyerahkan sejumlah uang yang merupakan
pembayaran atas harga pembelian barangnya kepada bank untuk dibukakan atau
diterbitkan L/C yang ditujukan kepada eksportir melalui bank korespondennya di
tempat eksportir berada. Selanjutnya eksportir menyediakan semua dokumen
yang disyaratkan dalam L/C tersebut dan menyerahkan ke bank untuk
dinegosiasikan. Jadi secara otomatis dan tanpa syarat apapun eksportir
melalui perantara Bank Pembuka L/C dan Bank Pembayar akan membayar kepada
eksportir jika dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut telah
dipenuhi oleh eksportir dan diserahkan ke Bank Pembayar. Kedudukan bank
dalam hal ini hanya bertindak sebagai penengah atau perantara karena tidak
memihak kepada importir maupun eksportir pada waktu pembayaran dilakukan dan
juga sekaligus bertindak sebagai penjamin karena:
a. Bank telah
dipercaya dan dikenal bonafiditasnya baik oleh si pembeli maupun oleh
sipenjual.
b. Sesuai fungsinya
yang berkecimpung dibidang keuangan yang setiap transaksi perdagangannya baik
dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valas dimonitori oleh Pemerintah.
c. Bank
tertentu, yang telah mempunyai hubungan operasionil keseluruhan dunia sehingga
memudahkan pelaksanaan mekanisme pembayaran melalui bank.
Itulah sebabnya maka
cara pembayaran dengan L/C yang paling aman dan banyak digunakan dalam
perdagangan internasional.
Rumusan Masalah
Bagaimana
peranan perbankan di Indonesia dalam menunjang/ mendukung perdagangan luar
negri khusunya dengan menggunakan LC ( Letter of Credit ) ?
BAB II
PEMBAHASAN
Dasar hukum penggunaan L/C sebagai cara
pembayaran adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 yang mana dalam
Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini mengemukakan bahwa pembayaran ekspor
dan impor dapat dilakukan dengan metode Letter of Credit dan metode Non Letter
of Credit. Dalam pelaksanaannya L/C yang digunakan adalah yang diatur
dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit, Revisi
1993, Publikasi ICC No. 500 atau biasa disingkat menjadi UCP No.
500 Revisi 1993, hal ini dikemukakan dalam ketentuan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 1 tahun 1982 yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN
tanggal 17 Desember 1993 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari
1994 sampai saat ini.
Proses Penerbitan dan
pembayaran Letter of Credit
Dalam
proses dan mekanisme Letter of Credit menurut Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996 dikemukakan 2 hal utama,
yaitu:
1. Proses Penerbitan
Letter of Credit
Setiap
permohonan penerbitan Letter of Credit oleh Pembeli pada bank harus disertai
perjanjian jual beli atausales contract antara Pembeli itu dengan
Penjual -orang yang tercantum namanya sebagai penerima L/C-. Sales
Contract ini merupakan dasar untuk membuka L/C, karena apa yang
disyaratkan dalam sales contractinilah yang dituangkan menjadi
syarat L/C pula. Mulai dari jenis barang yang dibeli, kapan barang
tersebut harus dikirim atau dikapalkan, harga, kuantitas, kualitas barang yang
dikirim dan syarat/cara pembayarannya. Kesepakatan antara Penjual dengan
Pembeli bahwa cara pembayaran dengan L/C mengharuskan Pembeli yang
merupakan pihak pemohon pembukaan L/C, memohon ke bank agar diterbitkan L/C
dengan syarat-syarat yang sama dalam sales contractnya dan syarat-syarat umum
lainnya.
Proses
terbitnya suatu L/C, mulai dari masuknya permohonan pembukaan L/C sampai
diterbitkannya L/C tersebut secara umum adalah sebagai berikut :
- Pembeli atau Applicant menghubungi
banknya dan menyatakan maksudnya akan membuka L/C, dengan mengisi formulir
permohonan pembukaan L/C yang sudah dibakukan dari bank. Dalam
formulir tersebut telah tersedia kolom tentang kondisi/syarat yang
dikehendaki Pembeli/Applicant dalam L/C nya.
- Formulir permohonan dari
Pembeli/Applicant akan diperiksa apakah tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku. Jika tidak dan setelah pemohon
menyerahkan sejumlah dana sebagai jaminan atas penerbitan L/C maka bank
ini akan menerbitkan L/C, yang telah diberi nomor register dan tanggal
penerbitan L/C tersebut. Bank yang menerbitkan L/C ini disebut Opening
Bank / Issuing Bank. Opening Bank akan
meneruskan L/C nya langsung ke bank Penjual apabila bank Penjual tersebut
adalah koresponden banknya, jika bukan maka akan melalui bantuan
bank penerus ke bank Penjual. Kedudukan bank Penjual sebagai Paying
Bank / negotiation Bank, tergantung dari hubungannya dengan issuing
Bankdan syarat dari L/C itu sendiri.
- Bank Penerima L/C akan meneruskan
L/C itu ke Bank Penjual apabila Bank Penjual merupakan bank penerus
dan Bank Penjual akan menghubungi Penjual untuk menyampaikan bahwa ada L/C
untuknya.
Jadi
dalam proses penerbitan L/C ini minimal melibatkan 4 pihak, yaitu:
–
Pembeli / importir / applicant , yang juga merupakan pihak pemoho
penerbitan L/C;
–
Opening /Issuing Bank , pihak yang menerbitkan L/C
–
Paying / Negotiating Bank, pihak yang meneruskan L/C ke penjual
–
Penjual / Beneficier / eksportir, pihak penerima L/C.
2. Proses Pembayaran Letter of Credit
Setelah
suatu L/C yang telah diterima oleh Bank Penjual dan memberikan ke Penjual maka
proses pembayaran L/C tersebut adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan L/C yang diterima,
Penjual menyiapkan barang yang akan dikirim dan sekaligus mengurus semua
perlengkapan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut lalu
menyerahkan ke pihak bank Penjual.
- Bank Penjual yang bisa merupakan
Paying Bank atau Negotiating Bank itu akan menerima dokumen dari Penjual
dan memeriksanya. Bila dokumen-dokumen tersebut sudah sesuai dengan
yang disyaratkan dalam L/C maka bank akan mengambil alih atau menerima
semua dokumennya dan melakukan pembayaran kepada Penjual sebesar nilai
nominal yang tercantum dalam L/C setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang
telah ditetapkan oleh bank.
- Selanjutnya Paying Bank mengirim
dokumen-dokumen yang diterima dari Penjual ke issuing Bank. Bank
Pembayar hanya akan mengirim dokumen barang ke issuing
Bank jika Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi dan dokumen
keuangannya (financial documents) ke Bank Tertarik. Penentuan suatu
Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya
tergantung dari hubungan Bank Pembuka dengan Bank Penegosiasi atau Bank
Tertarik dan hal ini sudah ditentukan dalam L/C nya.
- Setelah Bank Pembuka
-baik sebagai Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya-
menerima dokumen tersebut maka diperiksanya. Jika dokumen-dokumen
itu sudah sesuai dengan syarat yang diminta dalam L/C maka Bank Pembuka atau
Bank Tertarik akan membayar kepada Bank Pembayar atas biaya-biaya
yang telah dikeluarkannya. Sedangkan Bank Penegosiasi tidak akan
melakukan lagi pembayaran ke Bank Pembayar.
- Bank Pembuka menyampaikan ke
pembeli bahwa dokumen-dokumen atas L/C yang dibuka telah ada.
- Pembeli membayar semua biaya yang
telah dikeluarkan oleh Bank Pembuka setelah diperhitungkan dengan jaminan
awal yang telah diserahkan Pembeli pada waktu L/C akan diterbitkan.
- Bank menyerahkan dokumen-dokumen
tersebut kepada Pembeli dan dokumen-dokumen itu kemudian digunakan untuk
pengambilan barang oleh Pembeli.
Dari
proses penerbitan dan pembayaran Letter of Credit dapat
dilihat bahwa yang menentukan dilakukannya pembayaran atas suatu L/C tergantung
pada kelengkapan dokumen yang ditentukan dalam L/C. Secara garis besar
dokumen-dokumen L/C ada 2 macam, yaitu :
- dokumen financial, yang terdiri
dari wesel/draft
- dokumen barang, yang antara lain
adalah commercial Invoice, Bill of Laiding, Packing List, Insurance
Policy, Certificate of Origin, Certificate of Quality, Certificate of
Health, PEB dan lain-lain tergantung dari jenis barang yang diperjual
belikan.
Jenis
dokumen barang yang disyaratkan dalam L/C ini tergantung dari kesepakatan para
pihak apa yang diinginkan selain mengikuti kebiasaan umum dalam perdangan jenis
objek jual beli tersebut.
Apabila
dokumen yang disyaratkan dalam L/C tidak sama persis dengan dokumen yang
diajukan oleh eksportir atau terdapat penyimpangan-penyimpangan maka yang dapat
dilakukan oleh Paying Bank adalah :
- menunda pembayaran dan
mengembalikan dokumen tersebut ke eksportir untuk diperbaiki.
- menyarankan / meminta agar
eksportir segera menghubungi importir untuk dilakukan perubahan/amandement
atas syarat-syarat L/C agar sesuai dengan kondisi dokumen eksportir.
- melakukan pembayaran dengan ada
jaminan dari eksportir bahwa pembayaran akan dikembalikan apabila issuing
bank menolak melakukan pembayaran karena penyimpangan tersebut.
Paying
Bank tidak berwenang untuk merubah atau menafsirkan lain persyaratan
dokumen dalam L/C. Apabila atas inisiatif Paying Bank melakukan
pembayaran terhadap L/C yang persyaratannya tidak sesuai dengan L/C maka
issuing bank berhak menolak penggantian uang paying bank yang telah
diterima oleh eksportir, hal ini merupakan tanggung jawab paying bank sendiri.
Keadaan
barang yang tidak sesuai dengan hal yang tertera dalam dokumen terlampir, ini
bukan merupakan tanggung jawab dari bank. Importir dapat menggugat
eksportir melalui pengadilan atau arbitrase, hal ini tergantung perjanjian
mereka yang mengatur tentang cara penyelesaian jika terjadi perselisihan.
Bank hanya berurusan dengan dokumen oleh karena itu tidak bertanggung jawab
terhadap kondisi barang yang sebenarnya.
Cara
pembayaran dengan L/C ini peranan bank sangat penting karena tanpa bank maka
tidak ada L/C yang diterbitkan. Tujuan bank bertindak sebagai
penjamin atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh applicant / importir
dengan beneficier / eksportir adalah untuk mendapat profit dari jasa yang
diberikan dan disamping itu juga untuk menunjukkan eksistensinya dan
reputasinya sebagai bank yang dipercayai diluar negeri. Menurut ketentuan
Bank Indonesia maka sekali bank telah menerbitkan L/C maka tidak dapat lagi
membatalkan L/C tersebut dengan alasan apapun kecuali L/C tersebut yang sendiri
tidak berlaku lagi karena kadaluwarsa, maksudnya karena telah melewati jangka
waktu berlakunya L/C sebagaimana telah ditentukan dalam L/C tersebut
sendiri. Hal ini untuk mencegah pembatalan L/C yang dapat merugikan salah
satu pihak yang telah mengeluarkan biaya untuk penyediaan barang.
Oleh karena itu issuing bank bertanggung jawab sepenuhnya atas L/C yang
diterbitkan sepanjang semua syarat dalam L/C telah dipenuhi.
LETTER
OF CREDIT
1. Pengertian
Letter of credit, atau sering disingkat menjadi L/C, LC, atau LOC, adalah
sebuah cara pembayaran internasional yang memungkinkan eksportir menerima
pembayaran tanpa menunggu berita dari luar negeri setelah barang dan berkas
dokumen dikirimkan keluar negeri (kepada pemesan).
2. Pihak–pihak Yang Terlibat
Ada beberapa pihak yang secara langsung terlibat dalam transaksi menggunakan
letter of credit. Pihak-pihak tersebut, yaitu:
1) Importir (Pembeli)
Importir, atau pihak pembeli, merupakan pihak yang mengeluarkan letter of
credit, maksudnya, mengeluarkan perjanjian untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak eksportir (penjual), ketika seluruh tanggung jawabnya telah dipenuhi.
Umumnya, harus ada jaminan terhadap kredibilitas pihak importir, untuk
menghindari kaburnya pembeli dari tanggung jawab.
2)
Eksportir (Penjual)
Eksportir, atau pihak penjual, adalah tujuan dari terbitnya letter of credit,
maksudnya, pihak eksportir akan menerima pembayaran melalui letter of credit
tersebut ketika seluruh tanggung jawabnya telah diselesaikan. Ketika akan
mengklaim pembayaran melalui letter of credit tersebut, pihak eksportir harus
mampu menunjukkan semua dokumen yang dipersyaratkan.
3)
Bank penerbit (Bank pembuka/opening bank/issuing bank/importer’s bank)
Bank ini terdapat di negara importir, dan menerbitkan letter of kredit, yang
akan menjadi perjanjian bayar kepada bank penerima.
4)
Bank penerus (Advising bank/seller’s bank/correspondent bank)
Bank ini melakukan penegasan (confirming), terhadap keaslian dan kelengkapan
dokumen letter of credit. Bank ini secara umum bertugas menginformasikan kepada
pihak penjual bahwa ada letter of credit yang ditunjukkan pada pihak penjual,
dan telah diperiksa keasliannya.
5)
Bank pembayar (paying bank)
Bank ini terdapat di negara eksportir, di mana disebutkan dalam letter of
credit sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran kepada pihak eksportir
(sering disebut “beneficiary”), jika persyaratannya telah dipenuhi seluruhnya.
6)
Bank negosiasi (negotiating bank)
Bank yang menyetujui pembelian wesel draft dari eksportir.
7)
Bank pengganti (reimbursing bank)
Suatu bank yang sifatnya netral jika antara bank eksportir dan bank importir
tidak memiliki hubungan rekening untuk menyelesaikan proses pembayaran.
3. Asas-asas Dalam Pembayaran Menggunakan Letter Of Credit
Terdapat sejumlah asas dalam pembayaran menggunakan letter of credit. Berikut
akan secara singkat dijelaskan asas-asas tersebut.
Ø
The Rule of Strict Compliance (Aturan Kesesuaian)
Aturan ini mengatur bahwa segala dokumen perdagangan yang ada harus betul-betul
sama dengan keterangan yang ada di dalam letter of credit, termasuk bill of
lading, invoice, insurance policy, dan seluruh dokumen yang diminta. Sedikit
saja perbedaan dapat membuat bank menolak mengakui otentisitas dokumen-dokumen
tersebut.
Misal:
dalam kasus Courtaulds North America, Inc. v. North Carolina National Bank
(1975), tergugat menuliskan dalam letter of credit keterangan barang yang
diperjualkan sebagai “100% Acrylic Yarn”, sementara pada invoice tertulis
“Cartons marked: 100% Acrylic” (kehilangan ‘Yarn’). Bank dengan demikian
menolak karena terjadinya perbedaan antara dua berkas tersebut.
Ø
Principle of Separation (Asas Pemisahan)
Aturan ini mengatur bahwa pembuatan letter of credit berbeda dengan perjanjian
dagang (contract) antara kedua pihak. Dengan demikian, bank hanya berurusan
dengan dokumen letter of credit (dan dokumen penyertanya, sebagai bentuk
verifikasi), bukan berurusan dengan barang-barang yang diperdagangkan.
4. Jenis-jenis Letter Of Credit Secara Umum
Secara umum, terdapat tiga jenis letter of credit:
1)
Revocable L/C: letter of credit yang dapat secara sepihak (unilaterally) diubah
isinya atau dibatalkan (amended or cancelled) tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu/persetujuan dari eksportir (without prior notice/consent of the
beneficiary). Letter of credit ini sangat beresiko bagi eksportir, karena bisa
saja barang sudah dikirimkan tapi letter of credit kemudian dibatalkan, atau
memberikan kesulitan bagi eksportir untuk menerima pembayaran.
2)
Irrevocable L/C: letter of credit yang tidak dapat dirubah dan dibatalkan,
kecuali oleh karena persetujuan dari kedua belah pihak.
3)
Irrevocable and Confirmed L/C (atau sering secara singkat disebut Confirmed
L/C): letter of credit ini digunakan untuk memberikan jaminan ganda bahwa
pembayaran pasti akan dilakukan. Umumnya digunakan jika terdapat keraguan
terhadap integritas suatu sistem perbankan. Confirmed letter of credit
diperoleh dari bank yang umumnya terdapat di negara eksportir, bahwa pembayaran
akan tetap dilakukan meskipun terdapat masalah di negara yang bersangkutan
(misal: krisis, kudeta, dst).
5.
Jenis-jenis Letter Of Credit Menurut Sifat Pembayarannya
Menurut sifat pembayarannya, terdapat tiga jenis letter of credit:
1) Sight L/C: pembayaran terhadap suatu letter of credit dilakukan ketika
seluruh kewajiban yang telah dilakukan telah selesai, dan pembayaran dilakukan
ketika penyelesaiannya telah terlihat (sight). Pembayaran harus dilakukan saat
itu juga, atau paling terlambat 7 (tujuh) hari setelahnya.
2)
Usance L/C: pembayaran terhadap letter of credit dilakukan pada tanggal jatuh
tempo, yaitu suatu tanggal beberapa hari sesudah tanggal dikapalkannya barang
tersebut (biasanya tanggal bill of lading).
3)
Red Clause L/C: nama diambil dari penggunaan tinta merah dalam penulisan letter
of credit ini; Red Clause L/C mensyaratkan bahwa pembayaran dilakukan sebelum
barang dikapalkan. Red Clause L/C umum dilakukan pada transaksi dengan
perusahaan kecil, karena pembayaran yang dimaksud akan dijadikan modal untuk
membuat barang yang dimaksud (maka sering juga disebut sebagai ‘loan’).
6. Jenis-jenis Letter Of Credit Menurut Persyaratannya
Menurut persyaratannya, terdapat enam jenis letter of credit:
1) Open L/C (sering disebut Negotiable L/C): letter of credit ini memberikan
kebebasan kepada pihak eksportir (beneficiary) untuk menegosiasikan
dokumen-dokumen persyaratan kepada bank manapun yang ditunjuk eksportir.
2) Restricted L/C: kebalikan dari jenis pertama, di mana pembayaran letter of
credit dibatasi pada bank yang telah tercantum pada letter of credit.
3) Documentary L/C: letter of credit ini mensyaratkan bahwa bank akan membayar
eksportir (beneficiary) jika dan hanya jika seluruh dokumen perdagangan yang
menyertainya telah diberikan kepada bank (maka nama jenis letter of credit ini
adalah ‘documentary’).
4) Revolving L/C: jenis letter of credit ini sering digunakan ketika kedua
partai (eksportir dan importir) sering terlibat dalam perdagangan secara
reguler (berulang-ulang/teratur). Dengan sistem ini, seluruh perdagangan secara
reguler tersebut dapat menggunakan hanya 1 (satu) letter of credit (1 L/C yang
berlaku untuk keseluruhannya); dan setelah letter of credit tersebut diklaim
pembayarannya, akan kembali berlaku dengan jumlah yang sama.
5) Back-to-back L/C: back-to-back letter of credit merupakan suatu bentuk
pembayaran yang khas. Dalam pembayaran ini, pihak eksportir berada di
tengah-tengah dua proses perdagangan: [1] eksportir menjual barangnya kepada
sorang pembeli (importir); [2] si eksportir juga melakukan pembelian dari suatu
penyedia (supplier) barang. Dalam kedua kegiatan tersebut dapat digunakan
sebuah L/C yang disebut back-to-back, yang pada pokoknya berarti si eksportir
dapat menggunakan L/C yang menjadi alat pembayaran pada kegiatan [1] di atas
untuk membayar kegiatan pembelian [2] di atas (sehingga pada pokoknya
sebetulnya back-to-back L/C ini seolah-olah merupakan dua L/C). Back-to-back
L/C sering digunakan ketika kedua kegiatan di atas terjadi tidak dengan pembuat
(manufacturer), maka jika anda lihat di atas, penjual dan pembeli tidak
melibatkan pembuat barangnya. Jenis L/C ini juga sering digunakan oleh penengah
(intermediary) dengan modal sedikit, sehingga “dana masuk” (L/C yang
dibayarkan) langsung “diputar” untuk membayar barang yang dibeli.
6)
Transferable L/C: jenis letter of credit yang dapat dipindahtangankan kepada
satu beneficiary lain. Perlu dicatat bahwa perpindahan tersebut hanya dapat
terjadi satu kali, kecuali terdapat kesepakatan lain.
7. Keuntungan Dan Kerugian Penggunaan Letter Of Credit
Berikut adalah beberapa keuntungan pemakaian letter of credit dalam transaksi
perdagangan internasional:
1) Berguna bagi eksportir dan importir yang belum mengenal secara baik, artinya
letter of credit menyediakan suatu jaminan legal bahwa proses pembayaran akan
diselesaikan hingga tuntas.
2) Eksportir dapat mempercayai bahwa pembayaran akan betul-betul diselesaikan.
Misal: dalam penggunaan sight L/C, pembayaran akan segera dilakukan ketika
seluruh tanggung jawab diselesaikan.
3) Importir dapat melakukan impor barang dengan dana yang minim, setidaknya
memberi waktu untuk memenuhi kewajibannya sampai barang selesai dikirimkan
kepada importir.
4) Importir dapat diyakinkan bahwa pembayaran akan dilakukan hanya jika seluruh
persyaratan dipenuhi (a.l. dokumen-dokumen perdagangan internasional)
Ø
Kerugian digunakannya letter of credit:
1) Bank tidak terlibat dalam pemeriksaan barang, sehingga meskipun persyaratan
dokumen dapat dipenuhi seluruhnya, sangat mungkin terjadi bahwa kondisi barang
tidak sesuai yang dijanjikan.
2) Penggunaan L/C memakan biaya yang cukup banyak, terutama mulai dari
permintaan diterbitkannya L/C sampai klaim pembayaran dari L/C.
3) Terdapat banyak waktu yang dibuang dalam proses pembayaran menggunakan L/C
Contoh Kasus Letter Of credit
Ø
Kasus 1
1. Kasus L/C Fiktif Bank Bni
Kasus
pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir
tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun yang
diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of
Credit (di ingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan
keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro.
A. Profil
Singkat Bank BNI
Bank
BNI didirikan pada tahun 1946. Perusahaan publik ini mayoritas sahamnya
dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bank BNI merupakan bank terbesar
nomor 3 di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BCA dengan total aset pada tahun
2003 sebesar IDR. 131,49 triliun.
Visi
: Menjadi Bank kebanggaan nasional yang unggul dalam layanan dan kinerja
Misi
: Memaksimalkan stakeholder value dengan menyediakan solusi keuangan yang fokus
pada segmen pasar korporasi, komersial dan konsumer
Budaya
Perusahaan
1.
BNI adalah bank umum berstatus perusahaan publik.
2.
BNI berorientasi kepada pasar dan pembangunan nasional.
3.
BNI secara terus menerus membina hubungan yang saling menguntungkan dengan
nasabah dan mitra usaha.
4.
BNI mengakui peranan dan menghargai kepentingan pegawai.
5.
BNI mengupayakan terciptanya semangat kebersamaan agar pegawai melaksanakan
tugas dan kewajiban secara profesional.
B. Ringkasan
Kasus
Awal
terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan audit internal pada
bulan Agustus 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang
gila-gilaa besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah
besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro
yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C
yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan
mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
-
Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
-
Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street
Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
-
Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7
trilyun
-
Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2
perusahaan dibawah Petindo Group
-
Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu
-
Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
-
Skim : Usance L/C
Kronologi :
1.Bank
BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank
Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle
East Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden
langsung dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator
yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
2.
Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit
ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI.
Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105
milyar. 3. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak
bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor
yang sudah dicairkan sebelumnya.
4.
Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah
terjadi.
5.Gramarindo
Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun)
merupakan potensi kerugian BNI.
Dalam
menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor
fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian
(potential losses).
Pertanyaannya
adalah apakah mungkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ?
Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui
letter of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus
pembobolan Bank BNI.
Identifikasi Permasalahan
Identifikasi
permasalahan yang akan dibahas pada paper ini adalah sebagai berikut :
A.Apa
saja perikatan yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam transaksi
L/C ?
B.Apa
saja pelanggaran/penyimpangan yang terjadi dalam penanganan transaksi L/C-L/C
tersebut di Bank BNI ?
C.Apa
saja upaya-upaya yang dapat dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang
kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan datang ?
Landasan Teori
Dalam
perdagangan internasional, sistem pembayaran dengan menggunakan Letter of
Credit (atau disingkat L/C) adalah sistim yang paling baik dan fair baik bagi
eksportir maupun importir. L/C merupakan sistem yang paling lazim digunakan
para eksportir dan importir karena dalam pelaksanaan L/C, semua pihak, termasuk
bank, hanya berurusan dengan dokumen, bukan dengan barang, jasa, atau
pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen bersangkutan. Dengan
menggunakan L/C para pihak mendapatkan perlakuan fair, karena kepemilikan atas
barang yang diperdagangkan baru dapat berpindah tangan jika semua pihak telah
memenuhi kewajibannya.
A.
Definisi-Definisi dalam Transaksi Letter of Credit
Pada
umumnya L/ C digunakan untuk membiayai penjualan barang/jasa jarak jauh antara
eksportir dan importir.
Definisi
L/C menurut CFG Sunaryati Hartono : ”Secara harfiah L/C dapat diterjemahkan
sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau Surat Tagihan, tetapi sebenarnya
L/C lebih merupakan janji akan dilakukan pembayaran,apabila dan setelah
terpenuhi syarat-syarat”
Bank
Indonesia memberikan definisi mengenai L/C sbb :
”Letter
of Credit adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada
eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi Letter of Credit
tersebut”
Sedangkan
menurut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, ICC Publication
No. 500 tahun 1993 (UCP 500), definisi L/C adalah : ”Setiap perjanjian, apapun
namanya atau maksudnya, dimana suatu bank (Issuing Bank atau bank penerbit)
bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (Applicant/pembuka)
atau atas namanya sendiri, untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau
kuasanya (orang yang ditunjuk oleh beneficiary/penerima L/C) atau memberikan
kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran, atau untuk mengaksep dan
membayar bill of exchange/wesel, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk
menegosiasi atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditetapkan, asalkan memenuhi
persyaratan dan kondisi L/C”
Berikut ini diuraikan definisi
istilah-istilah dalam kaitannya dengan transaksi ekspor dan impor menggunakan
L/C :
1.Applicant
atau Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penerbitan/pembukaan L/C
applicant biasanya adalah importir
2.Issuing
Bank/Opening Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh applicant
untuk menerbitkan L/C
3.
Advising Bankatau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang
diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir
4.
Negotiating Bank atau Bank Penegosiasi adalah bank yang diberi kuasa oleh
Issuing Bank untuk membayar sejumlah uang kepada beneficiary, sepanjang beneficiary
telah menyerahkan dokumen-dokumen ekspor yang sesuai dengan syarat dan kondisi
L/C
5.Benefiary
atau Penerima adalah pihak yang menerima L/C dan biasanya juga adalah
eksportir.
6.
Confirming Bank adalah bank yang ditunjuk oleh Issuing Bank untuk melakukan
pembayaran dalam hal Issuing Bank cidera janji tidak melakukan pembayaran,
sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
7.
Sight L/C adalah L/C yang mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban
bank untuk melakukan pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan
kepadanya.
8.Usance
L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, dimana bank berkewajiban untuk membayar
pada waktu tertentu pada masa yang akan datang, misalnya : 180 hari setelah
tanggal B/L.
9.
Negosiasi adalah pembelian dokumen oleh Negotiating Bank disertai pembayaran
kepada beneficiary.
B. Alur
Transaksi Letter of Credit
Sebelum
lebih jauh membahas mengenai kasus BNI, terlebih dahulu akan diuraikan
sistematika alur transaksi dalam L/C sebagai berikut :
Dari
gambar tersebut, berikut diuraikan alur L/C, barang dan uang sbb :
1.
Eksportir dan Importir menandatangai kontrak jual beli barang.
2.
Importir/pemohon/applicant mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada Bank
Pembuka
3.
Bank Pembuka menerbitkan L/C dan mengirimkannya melalui korespondennya dinegara
eksportir (yang yang menerima disebut Bank Penerus/Advising Bank)
4.
Bank Penerus meneruskan L/C melalui banknya beneficiary/penerima L/C.
Banknya
beneficiary meneruskan L/C kepada beneficiary
5.
Beneficiary menyiapkan barang untuk kemudian mengapalkannya dengan tujuan ke
negara importir sesuai kontrak yang disepakati
6.
Eksportir kemudian menyerahkan dokumen ekspor, lazimnya terdiri dari Wesel/Bill
of Exchange, Bill of Lading, Commercial Invoice, Packing List dan dokumen lain
yang dipersyaratkan L/C dan Bank Penegosiasi memeriksa kelengkapan dan
kesesuian dokumen dengan L/C dan membayarkan senilai wesel yang diserahkan
7.
Bank Penegosiasi mengirimkan dokumen-dokumen yang sudah dinegosiasi kepada Bank
Penerbit untuk mendapatkan pembayaran
8.
Bank Penerbit membayarkan kepada Bank Penegosiasi
9.
Bank Penerbit menyerahkan dokumen tersebut kepada pemohon untuk kemudian
pemohon mengambil barang dari pelabuhan.
C.
Praktek-Praktek Umum Dalam Menangani Transaksi Letter of Credit
Dalam
hubungan dengan penerapan aturan internal bank, maka semua bank telah
menetapkan aturan baku dalam menangani transaksi ekspor impor dengan L/C :
1. Pada saat menerima L/C
ekspor, prosedur yang harus dijalani adalah sbb :
a.
Meyakini L/C harus diterbitkan oleh Bank koresponden
Bank
koresponden adalah bank yang mempunyai hubungan korespondensi dengan Advising
Bank. Korespondensi dalam perbankan diwujudkan dalam bentuk pertukaran angkat
test untuk telex, SWIFT Authenticator Key, buku contoh tanda tangan, sehingga
jika sebuah bank memerima berita, surat atau surat berharga dari bank
korespondennya, maka bank tersebut dapat melakukan otentikasi untuk meyakini
kebenaran dan keabsahannya.
b.
Meyakini bahwa L/C tersebut tunduk pada UCP 500
c.
Melakukan otentikasi terhadap L/C yang diterima dari Bank Penerbit dengan
:
-
Melakukan verifikasi test otentikasi dalam dalam L/C yang diteruskan dengan
menggunakan telex atau mencocokkan tanda tangan yang ada dalam L/C dengan
contoh tanda tangan yang ada pada adminsitrasi bank.
-
Apabila L/C diteruskan melalui SWIFT dan bank penerbit sudah mempunyai hubungan
koresponden dengan bank penerus, maka pada bagian atas SWIFT tersebut akan
terdapat indentifiksi bahwa berita SWIFT tersebut telah diotentikasi oleh lembaga
penyelenggara SWIFT. Bank harus meyakini adanya bukti otentikasi tersebut.
d.
Memeriksa L/C untuk memastikan bahwa syarat-syarat dan kondisi yang ada
didalamnya tidak bertentangan peraturan perundangan dan aturan internal bank.
e.
Untuk L/C yang diterbitkan dari bank yang kurang terkenal atau berasal dari
negara-negara yang resikonya tinggi atau high risk country, apalagi bila dalam
jumlah besar, maka bank akan meminta agar L/C tersebut di-kofirm oleh bank yang
bonafid (first class bank).
Konfirmasi
dalam hal ini merupakan jaminan dari confirming bank yang akan membayar semua
tagihan L/C apabila ternyata Issuing Bank wan prestasi untuk membayar tagihan
L/C tersebut, sepanjang semua persyaratan dan kondisi L/C telah terpenuhi.
2. Prosedur yang berlaku di Negotiating
bank pada saat memproses negosiasi pada umumnya adalah sbb :
a.
Bank harus meyakini bahwa Issuing Bank cukup bonafid, sehingga dokumen yang
akan dinegosiasi nantinya pasti dibayar. Untuk meyakini bonafiditas Issuing
Bank, biasanya bank mempunyai aturan bahwa Issuing bank haruslah Bank yang
sudah mempunyai commercial line atau oleh media masa Indonesia disebut sebagai
bank koresponden. Sebenarnya terdapat perbedaan antara Commercial Line dengan
bank koresponden.
Commercial
Line adalah merupakan line atau limit yang ditetapkan oleh suatu bank terhadap
bank lain dengan mempertimbangkan aspek resiko gagal bayar jika bank tersebut
mempunyai kewajiban pembayaran. Commercial Line sendiri sebenarnya merupakan
common practice di dunia perbankan dan merupakan salah satu cara untuk
meminimalisir resiko bisnis, Sementara bank koresponden, biasanya hanya
terbatas pada pertukaran sarana otentikasi surat, telex, SWIFT dan sarana
korespondensi lainnya.
b.
Tahapan selanjutnya adalah memeriksa dokumen-dokumen ekspor yang telah
diserahkan oleh beneficiary untuk meyakini bahwa semua dokumen sudah sesuai
dengan syarat dan kondisi L/C.
c.
Apabila dokumen yang diajukan adalah untuk Usance L/C, maka Negotiating harus
memintakan akseptasi terlebih dahulu kepada Issuing Bank.
Akseptasi
adalah pernyataan dari Issuing Bank bahwa mereka mengaksep wesel dan berjanji
akan membayar pada tanggal tertentu dikemudian hari (misalnya : 180 hari
setelah tanggal Bill of Lading)
D. Letter of
Credit dan Hukum yang Memayunginya
Karena
dinilai memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi semua pihak, tak
mengherankan jika dalam perdagangan internasional (ekspor impor) pihak
eksportir dan importir sepakat menggunakan L/C sebagai sarana pembayaran, tak
terkecuali eksportir dan importir di Indonesia.
Di
sisi lain, adanya dukungan perbankan juga ikut mendorong penggunaan L/C sebagai
sarana pembayaran, karena Bank Indonesia memberikan ijin kepada bank-bank
tertentu yang telah memenuhi syarat untuk menjadi bank devisa, sehingga memungkinkan
bank-bank devisa tersebut melakukan transaksi perdagangan internasional melalui
produk-produk Trade Services dan Trade Finance. Bahkan untuk mendorong dan
menggairahkan perdagangan domestik atau antar pulau, Bank Indonesia telah
membuat aturan main serupa dengan UCP 500 yaitu Surat Kredit Berdokumen Dalam
Negeri atau sering disebut SKBDN.
L/C
pada hakikatnya adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan antara
hak dan kewajiban para pihak dalam L/C harus dipertahankan secara adil dan terbuka.
Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan L/C merupakan suatu keharusan karena
nilai inti L/C adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang senilai L/C.
Applicant
L/C yang meminta bank penerbit untuk menerbitkan L/C berhak atas barang yang
dibayar berdasarkan L/C, tetapi berkewajiban untuk membayar kembali kepada bank
yang untuk dan atas nama applicant melakukan pembayaran harga barang dengan L/C
kepada beneficiary yang menyampaikan kepada bank penerbit, dokumen-dokumen yang
dipersyaratkan L/C yang mewakili barangyang dijual kepada pemohon. Jika bank
penerbit L/C memberi kuasa kepada bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran
harga barang kepada penerima L/C, bank penerbit berkewajiban membayar kembali
kepada bank yang ditunjuk sejumlah uang yang telah dibayarkannya kepada
penerima.
Hak
dan kewajiban para pihak adalah sesuai dengan dengan kesepakatan berdasarkan
kontrak yang disetujui para pihak yang memuat jumlah pembayaran yang akan
direalisiasikan sebagai pengganti pengiriman barang oleh beneficiary kepada
pemohon. Saat pelaksanaan hak dan kewajiban juga dilakukan dengan merujuk pada
kesepakatan masing-masing pihak berdasarkan kontrak. Demikian juga halnya
dengan pembayaran biaya dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dalam menangani transaksi ekspor
impor di Indonesia, maka bank harus tunduk kepada :
1.
Peraturan internal Bank yang biasanya diwujudkan dalam bentuk Standard
Operating Procedure. Peraturan internal bank biasanya dibuat berdasarkan best
practice yang berlaku pada bank-bank seluruh dunia.
Layaknya
peraturan perundangan di sebuah negara, peraturan internal bank berlaku
mengikat kepada seluruh pegawai bank dimaksud, dan akan ada sanksi kepada
pegawai yang melakukan pelanggaran atas peraturan internal tersebut.
2.
Peraturan/perundangan yang berlaku di Indonesia
Di
Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Peraturan
Bank Indonesia itu memberikan aturan umum mengenai kewajiban pengelolaan
perbankan secara hati-hati atau lebih dikenal dengan prinsip-prinsip
prudensial.
3.
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
Ketentuan
internasional L/C dimuat dalam UCP. UCP mengatur pelaksanaan L/C secara
internasional tetapi hanya bersifat pengaturan umum. Ketentuan tehnis
pelaksanaan L/C tidak diatur oleh UCP, tetapi oleh International Standard for
Banking Practices dan dalam kerangka negara diatur oleh hukum nasional. UCP dan
ISBP tidak mencampuri materi aturan UCP dan ISBP. UCP, ISBP dan hukum nasional
tidak mempunyai hubungan hirarkie karena UCP dan ISBP bukan merupakan bagian
dari peraturan perundang-undangan suatu negara.
Analisis
A.
Perikatan yang Timbul
Perikatan-perikatan
yang timbul di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi L/C adalah
sebagai berikut :
1.
Antara Pemohon dan Beneficiary dalam bentuk Kontrak :
-
kewajiban pemohon untuk membayar senilai barang yang dikirimkan oleh
penjual sesuai kesepakatan
-
kewajiban beneficiary untuk mengirimkan barang yang dipesan sampai ketempat
yang telah disepakati.
2.
Antara Pemohon dan Issuing Bank dalam bentuk Aplikasi L/C :
-
kewajiban pemohon untuk membayar dengan tepat waktu senilai dokumen yang sudah
diterima dan diperiksa oleh Issuing Bank
-
kewajiban Issuing Bank untuk menerbitkan L/C sesuai instruksi pemohon dan
melakukan pemeriksaan dokumen impor yang diterimanya
3.
Antara Issuing Bank dan Beneficiary dalam bentuk L/C :
-
kewajiban Issuing Bank untuk membayar sejumlah tagihan wesel ekspor sepanjang
semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
-
kewajiban beneficiary untuk menyerahkan dokumen yang disyaratkan dalam L/C
4.
Antara Issuing Bank dan Advising Bank dalam bentuk L/C :
-
kewajiban Issuing Bank untuk mengirimkan L/C melalui sarana tercepat
kepada advising bank
-
kewajiban Advising Bank untuk mengambil langkah-langkah yang benar dalam
meneruskan L/C kepada beneficiary pada kesempatan pertama, sesuai instruksi
Issuing Bank
5.
Antara Issuing Bank dan Negotiating Bank dalam bentuk L/C :
-
kewajiban Issuing Bank untuk membayar senilai tagihan wesel kepada negotiating
bank sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
-
kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard
waktu yang ditetapkan UCP
6.
Antara Negotiating Bank dan Beneficiary dalam bentuk Aplikasi Negosiasi :
-
kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu
yang lazim dan melakukan pembayaran, jika negotiating bank memutuskan untuk
membeli dokumen ekspor
-
kewajiban beneficiary untuk membayar kembali hasil negosiasi yang telah
dibayarkan, jika ternyata Issuing Bank wan prestasi.
B.
Pelanggaran/Penyimpangan yang Terjadi
Berikut
ini adalah analisa mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dalam penanganan
transaksi L/C tersebut di Bank BNI :
1.Pelanggaran terhadap Peraturan
Bank Indonesia dan Perundang-undangan Lainnya
Dalam
rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential
banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI
per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian
BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal
disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7
triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan
dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut
efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank.
Diduga
telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L),
karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor
dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.
Disamping
itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan
terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
2. Pelanggaran terhadap aturan
internal Bank
Semua
bank, tak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani
transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya
kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi.
Untuk
lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran
pada setiap tahapan pemrosesan L/C sbb :
a.
Pada saat meneruskan L/C
Dalam
pengamatan penulis, dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak
terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau
setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama
bank itu hanya fiktif.
Dalam
praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden,
tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa
dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi
kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh
melakukan proses selanjutnya.
Dalam
UCP 500 pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank memutuskan untuk
meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa
keabsahan L/C yang diteruskannya. Dan apabila bank tersebut memutuskan tidak
meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing Bank.
Pasal
7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C,
Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank
dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus
memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C
tersebut.
Ada
beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut :
i.
L/C tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang
ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.
ii.
L/C tersebuut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank
tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan
bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan
sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal.
iii.
L/C memang tidak di-otentikasi sama sekali oleh Bank BNI
iv.Satu
hal yang juga sudah menjadi praktek standard yang dilakukan oleh bank-bank
diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah
bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi
ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C.
b.
Pada saat proses negosiasi (diskonto usance L/C)
-
Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko
bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya
commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak.
Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk
menolak negosiasi.
-
Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk
meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
-
Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi
dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP pasal 4 : dalam pelaksanaan L/C, bank
hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang,
jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang
bersangkutan.
Meskipun
UCP pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah
memang barang telah benar-benar dimuat di atss kapal, sehingga bisa
diterbitkannya Bill of Lading.
Dalam
kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus
meyakini bahwa barang memang benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan
mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran atau dengan memeriksa secara
langsung di pelabuhan muat.
-
Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank
BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah
memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka
baru bisa dilaksanakan negosiasi.
c.
Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C)
Permasalahan
di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak Issuing Bank wan
prestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance.
Sudah
menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak
dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar
outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi
tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara
berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi
oleh Issuing Bank.
Disamping
itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada
beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata
wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat
menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.
Hak
regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak
di-konfirm, untuk L/C yang di-konfirm Negotiating Bank tidak mempunyai hak
regres (pasal 9.iv UCP 500)
Jadi
dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu
surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh Negotiating Bank untuk
meng-eksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini bahwa pada saat hak
regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.
Dari
penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari
tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi
negosiasi.
Pelanggaran
tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah
karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang
cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah
diberikan kepada nasabahnya.
3.
Pelanggaran terhadap UCP 500
Dalam
kasus Bank BNI, pihak yang wan prestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi
bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka Issuing Bank
dimaksud telah melanggar pasal 9.a.iii, UCP 500 yang antara lain berbunyi :
Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan
dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating
Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :
(i)
apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas unjuk (sight) – untuk membayar atas
unjuk;
(ii)
apabila L/C mensyaratkan pembayaran kemudian (defferred payment) – untuk
membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang
disyaratkan L/C tersebut;
(iii)
apabila L/C mensyaratkan akseptasi :
(a).
oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik olehbeneficiary pada
Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo
(b).
Oleh bank tertarik lainnya untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo
wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik
yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut,
atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik
tersebut pada saat jatuh tempo.
4. Penyimpangan terhadap
Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
Berdasarkan
penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi
penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sbb:
-
Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank (Commercial Line)
-
Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal untuk
yang L/C berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya
di-konfirm.
-
Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas (Gramarindo
& Petindo), dengan analisa 5C (Character, Capability, Capital, Collateral
& Condition) dan Trade Line
-
Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua
keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain
yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen
5. Pelanggaran terhadap Etika
Pegawai
Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran
prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian
Bank BNI menjadi semakin besar.
6. Vonis
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Sehubungan
dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :
Vonis terhadap pelaku internal BNI :
No
Nama Jabatan Vonis PN
1. Edi Santosa Kabid Pelayanan
luar negeri BNI Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur hidup
2. Kusadiyuwono Kepala Cab. BNI
Kebayoran Baru Penjara 16 tahun
Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :
No
Nama Jabatan Vonis PN
1.Olah Abdullah Agam Direktur
PT Gramarindo Legal Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda
Rp300 juta
2 Aprilla Widharta Direktur Pan
Kifros 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp200 juta
3. Adrian P.
Lumowa Direktur Magnetique Esa
Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan &
denda Rp400 juta
4. Titik Pristiwanti Direktur
Binekatama Pasific 8 tahun penjara & denda Rp300 juta
5. Richard
Kuontul Direktur Netrantara 10 tahun penjara & denda Rp150
juta
Ø
Kasus 2
A. Ringkasan Kasus
Sebelum pecahnya Perang Teluk Kedua, Perusahaan Naijing dijual 2000 ton plastik
ethotic (senilai 2,18 juta USD) untuk sebuah perusahaan Singapura. Setelah
kontrak itu disegel, penjual menerima letter of credit dari pembeli dan
kemudian membuat pengiriman menurut artikel kontrak. Apa yang tak terduga
adalah bahwa Perang Teluk tidak mengatur harga dari produk minyak melonjak,
sebaliknya, harga anjlok. Setelah menerima barang, pembeli mengklaim bahwa
barang rusak, karena itu, meminta pemotongan harga 200 dolar. Jika tidak,
mereka akan menolak untuk membayar. Namun, bila pembeli mengajukan surat
tersebut ke bank, tidak ada konsistensi dalam surat kredit. Dan bank tidak
menolak dokumen atau menolak membayar hingga 11 hari kemudian. Dan menurut
situasi di atas, pembeli memilih untuk menuntut bank, dan sebagai hasilnya,
Mahkamah Agung aturan Singapura mendukung penjual
B. Solusi
Dalam hal ini, kontrak ditetapkan bahwa pembayaran akan dilakukan berdasarkan
surat penglihatan yang tidak dapat dibatalkan kredit. Sesuai dengan ketentuan
Bea Cukai Uniform dan Praktek Kredit Dokumenter ", dalam surat bisnis
kredit, bank memproses dokumen saja, barang tidak terkait dan dokumen. Oleh
karena itu, sehingga selama dokumen konsisten, bank harus melakukan pembayaran
sesuai dengan voucher. Dalam hal ini, ketika penjual menyerahkan dokumen ke bank,
tidak ada perbedaan sama sekali, oleh karena itu, bank tidak memiliki alasan
untuk menolak untuk membayar harga pembelian.
Menurut praktik umum, ketika dokumen tidak konsisten satu sama lain, bank harus
memberitahu pelanggan secepat mungkin. Menurut jurisprudenc Singapura, bank
harus menolak dokumen dalam 3-4 hari pemberitahuan kepada pelanggan. Dalam hal
ini, bank menolak untuk menerima dokumen dan membayar harga pembelian 11 hari
setelah menerima dokumen, yang jelas tidak konsisten dengan praktek umum dan
preseden lokal.
Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini pembeli menuntut harga yang lebih rendah
dengan alasan kualitas barang lebih rendah, dan menegaskan bahwa ia akan
menolak untuk melakukan pembayaran jika penjual tidak akan menurunkan harga, di
bawah ini keadaan, penjual belum membawa gugatan dengan pembeli, melainkan
memilih untuk menuntut bank. Dan seperti klaimnya ini juga dibenarkan, hasilnya
adalah mendukung penjual. Ini adalah bukti bahwa keputusannya adalah bijaksana
dan pendekatan yang efektif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
– Cara pembayaran
dengan L/C pada perdagangan internasional adalah paling aman, baik
dilihat dari segi importir maupun eksportir. Masing-masing terlindungi
kepentingannya, importir kepentingannya telah dituangkan dalam
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh eksportir. Apabila
syarat-syarat yang disebutkan dalam L/C tidak dipenuhi oleh
eksportir maka eksportir tentu tidak mendapat pembayaran dari negotiating
Bank. Sedangkan kalau semua syarat dalam L/C dipenuhi oleh eksportir maka
ia berhak atas sejumlah uang yang telah disebutkan dalam nominalL/C tersebut.
– Cara pembayaran
dengan L/C pada perdagangan internasional menurut teorinya dapat
dibatalkan tetapi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia maka berdasarkan
Surat L/c yang telah diterbitkan tidak dapat dibatalkan dengan alasan
apapun.
Berdasarkan
pembahasan-pembahsan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus L/C
fiktif BNI tersebut, diduga telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan terhadap
3 aspek sbb :
1.
Ekonomi
Berpotensi
merugikan BNI sebesar Rp 1,2 trilyun, karena dari total nilai transaksi L/C,
sebesar Rp. 0,5 trilyun telah dikembalikan oleh nasabah.
2.
Hukum
Telah
terjadi pelanggaran/penyimpangan terhadap :
-
Aturan Internal BNI
-
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
-
Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
-
Peraturan BI, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
-
Telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L)
3.
Etika
Pegawai
Bank BNI Cabang Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi
pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang di BNI.
B. Saran
Melihat pentingnya
fungsi L/C sebagai salah satu cara pembayaran yang digunakan dalam perdagangan
internasional maka sebaiknya ketentuan L/C ini dibuat dalam bentuk peraturan
yang lebih tinggi misalnya Peraturan Pemerinah bukan hanya merupakan Surat
Keputusan Bank Indonesia.
Agar
kejadian serupa tidak terulang kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan
datang, disarankan melakukan langkah-langkah sbb :
1.
Menerapkan Good Corporate Governance secara konsisten.
2.
Memperketat internal control.
3.
Melakukan pemisahan fungsi risk manajemen dan fungsi marketing.
4.
Selalu mengacu pada best practice dan UCP dalam menangani transaksi L/C.
5.
Memberlakukan aturan kewenangan yang berjenjang dalam memutus fasilitas L/C
ekspor.
2. Masalah Dengan Letters of
Credit
Produsen tekstil dan garmen skala
kecil dan menengah Indonesia menghadapi masalah dengan L/C selain masalah daya
saing lainnya.
Industri tekstil dan garmen Indonesia
telah lama menjadi pilar utama bagi perekonomian Indonesia, yang memberikan
lapangan kerja dan devisa yang sangat besar. Namun persaingan di pasar global
semakin ketat.
Bagi pengekspor Indonesia, tren yang
ada cukup mengkhawatirkan: impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Amerika
menurun, dan banyak perusahaan Indonesia bergantung pada pasar ini. Meskipun
negara-negara Uni Eropa juga tujuan ekspor yang penting, banyak pengekspor
merasa bahwa Uni Eropa adalah pasar yang sulit ditembus karena pesanan yang
lebih kecil dan kecenderungannya membeli dari berbagai sumber. Pasar
alternatif lain seperti Jepang juga sulit ditembus, dimana banyak perusahaan
Indonesia berpendapat standar yang diterapkan terlalu tinggi. Selain itu,
konsumen Jepang cenderung sangat loyal kepada produk tertentu dan hubungan yang
terjalin dengan pemasok Cina dan Korea sebelumnya. Akibatnya, Perjanjian
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN dengan Jepang yang ditandatangani beberapa
tahun lalu belum mampu signifikan mendorong ekspor atau investasi Jepang dalam
produksi tekstil Indonesia.
Di samping itu, ada kelebihan kapasitas
produksi garmen di negara-negara pengekspor di seluruh dunia. Kemajuan
teknologi yang memungkinkan pengusaha memenuhi berbagai kebutuhan memperbesar
kemungkinan buyer mencari sumber barang yang mereka inginkan dari mana
pun di dunia.
Dilatarbelakangi kecenderungan tersebut,
hambatan yang dihadapi UKM Indonesia untuk mendapatkan L/C cukup besar;
sehingga mengurangi daya saing dalam situasi yang sudah sulit ini.
Perusahaan tekstil dan garmen menggunakan
L/C untuk mendapatkan modal kerja guna membiayai pesanan mereka. Modal itu
sangat penting untuk membeli atau membayar uang muka seluruh bahan mentah dan
bahan lain yang dibutuhkan, termasuk kain, benang, retsleting, kancing, dll.
Sebagian dari barang itu tersedia di dalam negeri namun banyak pula yang harus
diimpor. Jika buyer tidak mau membuka L/C, pengusaha kesulitan cepat
mendapatkan bahan mentah– masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin
pesanan dipenuhi lebih cepat dari sebelumnya. Banyak buyer enggan
membuka L/C, karena ketatnya persaingan antar pengusaha tekstil sehingga mereka
dapat cepat menemukan alternatif yang lebih murah. L/C dari buyer
Jika
buyer tidak mau membuka L/C, pengusaha kesulitan mendapatkan bahan
mentah dengan cepat – masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin
pesanan dipenuhi lebih cepat dari sebelumnya.
seperti
uang muka untuk pembelian. Dana dibutuhkan untuk membuka L/C dan uang itu tidak
dapat digunakan untuk keperluan lain. Jika pengusaha dapat menanggung biaya
pengadaan bahan dan produksi tanpa uang muka dari buyer, maka buyer dapat
menghemat uang. Karena itu, mereka memilih mencari produsen yang dapat menanggung
biaya sendiri dibandingkan pengusaha yang memerlukan pembiayaan dari buyer.
Untuk
mengatasi masalah ini, menurut teori, produsen yang tidak bisa mendapatkan L/C
dari buyer dapat meminta kredit dari bank atas tanggungan sendiri. Jika
usaha sedang baik dan buyer dapat diandalkan, ini bukanlah masalah.
Namun, di Indonesia, sejak krisis moneter tahun 1997, bank merasa aman dari
risiko dengan menyimpan uang rekening yang pada dasarnya milik pemerintah,
dengan bunga sekitar 9 persen. Meskipun bank mungkin memperoleh laba lebih
besar dengan memberikan kredit, misalnya sebesar 15 persen, lebih riskan
menyalurkan kredit dibandingkan dengan keuntungan pasti yang didapat dari
pemerintah. Dengan demikian, bank-bank di Indonesia, yang masih enggan
mengambil risiko, enggan untuk menyalurkan kredit.
Buyer
yang lebih suka memesan kepada
produsen yang mampu membiayai sendiri atau yang dapat mengurus pembiayaannya
sendiri akan mencari pengusaha di negara lain di mana bank bersedia untuk
menyalurkan kredit, bahkan mungkin piutang, pinjaman – dan akibatnya produsen
Indonesia bisa dirugikan.
Sumber :
https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/07/04/peranan-letter-of-credit-lc-pada-perdagangan-internasional/
http://haryaniagusti.blogspot.com/2012/03/tugas-2-contoh-kasus-letter-of-credit.html
http://budelasg.blogspot.com/2013/05/contoh-kasus-letter-of-credit.html