Minggu, 31 Mei 2015

softskill 2




dede sumarni
31112780
3db10

Pengertian Kliring
Kata kliring sebenarnya berasal dari istilah asing, yakni kata dalam bahasa Inggring yang berbunyi Clearing. Kliring menurut Wikipedia adalah suatu istilah dalam dunia perbankan dan keuangan menunjukkan suatu aktivitas yang berjalan sejak saat terjadinya kesepakatan untuk suatu transaksi hingga selesainya pelaksanaan kesepakatan tersebut. Kliring dibutuhkan untuk mempercepat penyelesaian transaksi perdagangan yang membutuhkan perlengkapan aset transaksi. Hal yang paling mudah dipahami dalam kliring adalah kesepakatan antar lembaga keuangan mengenai hutang piutang dalam suatu transaksi keuangan. Kliring melibatkan manajemen dari paska perdagangan, pra penyelesaian eksposur kredit, untuk memastikan bahwa transaksi dagang terselesaikan sesuai dengan aturan pasar, walaupun pembeli maupun penjual menjadi tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya. Yang termasuk dalam proses kliring antara lain pelaporan / pemantauan, marjin risiko, netting transaksi dagang menjadi posisi tunggal, penanganan perpajakan dan penanganan kegagalan.
Secara umum kliring melibatkan lembaga keuangan yang memiliki permodalan yang kuat yang dikenal dengan sebutan Mitra Pengimbang Sentral (MPS) atau dalam istilah asingnya dikenal dengan central counterparty. MPS ini menjadi pihak dalam setiap transaksi yang terjadi baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Dalam hal terjadinya kegagalan penyelesaian atas suatu transaksi maka pelaku pasar menanggung suatu risiko kredit yang distandarisasi dari MPS .
Di Amerika Serikat, kliring antar bank dapat terlaksana melalui Automated Clearing House (ACH), dimana aturan dan regulasinya diatur oleh NACHA – The Electronic Payments Association,yang sebelumnya bernama National Automated Clearing House Association, serta Federal Reserve. Jaringan ACH ini akan bertindak selaku pusat fasilitas kliring untuk semua transaksi transfer dana secara elektronik. Kliring antar bank atas cek dilaksanakan oleh bank koresponden dan Federal Reserve. Di Indonesia, kliring antar bank atas transfer dana secara elektronik dan cek dilakukan oleh bank sentral yaitu Bank Indonesia (BI). Sedangkan proses kliring atas transaksi efek dilaksanakan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia atau KPEI dan proses kliring atas transaksi kontrak berjangka dilaksanakan oleh PT. Kliring Berjangka Indonesia atau KBI.
Kliring adalah jasa penyelesaian utang piutang antar bank dengan cara saling menyerahkan warkat-warkat yang akan di kliringkan di lembaga kliring. lembaga kliring ini dibentuk dan dikoordinasi oleh Bank Indonesia setiap hari kerja . peserta kliring adalah bank yang sudah memperoleh izin dari bank indonesia.
Tujuan dilaksanakan kliring oleh bank indonesia adalah:
  ·        Untuk memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran  giral
  ·        agar perhitungan penyelesaian utang piutang dapat dilaksanakan lebih mudah , aman, dan efisien
Warkat-warkat yang dapat dikliringkan adalah:
  ·        Cek
  ·        Bilyet Giro(BG)
  ·        Wesel Bank
  ·        Surat bukti penerimaan Transfer dari luar kota
  ·        Lalu lintas Giral (LLG)/Kota kredit

Jenis-Jenis Kliring

           Kliring  umum,  adalah  :  sarana  perhitungan  warkat-warkat  antar  bank  yang  pelaksanaannya  diatur  oleh  B I.

           Kliring  lokal,  adalah  :  sarana  perhitungan  warkat-warkat  antar  bank  yang  berada  dalam  suatu  wilayah  kliring  (wilayah  yang  ditentukan).

           Kliring  antar  cabang,  adalah  :  sarana  perhitungan  warkat  antar  kantor  cabang  suatu  bank  peserta  yang  biasanya  berada  dalam  satu  wilayah  kota.  Kliring  ini  dilakukan  dengan  cara  mengumpulkan  seluruh  perhitungan  dari  sauatu  kantor  cabang  untuk  kantor  cabang  lainnya  yang  bersangkutan  pada  kantor  induk  yang  bersangkutan.

Waktu Kliring
Jadwal kliring ekonomi di seluruh Indonesia yang terdiri dari 3 (tiga) zona waktu untuk dapat melakukan transfer kredit dengan lancar, maka kliring kredit dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus kliring.
Pengiriman transfer/data keuangan elektronik kredit pada siklus pertama dilakukan mulai pukul 08.15 WIB s.d. 11.30 WIB sedangkan pengiriman transfer/data keuangan elektronik kredit pada siklus kedua dilakukan mulai pukul 12.45 WIB s.d. 15.30 WIB.
Untuk kliring debet pengiriman warkat/data keuangan elektronik debet ditetapkan oleh masing-masing Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) dengan batas maksimal pengiriman hasil perhitungan kliring lokal ke Penyelenggara Kliring Nasional (PKN)  pada pukul 15.30 WIB.
Jadwal kliring di atas adalah pada level bank, sedangkan pada level nasabah dilakukan lebih awal sesuai dengan jadwal yang ditetapkanmasing-masing bank.

Proses Kliring
Proses penyelenggaraan SKNBI terdiri dari 2 (dua) sub sistem, yaitu :
Kliring Debet
1.  Meliputi kegiatan kliring penyerahan dan kliring pengembalian, digunakan untuk transfer debet antar Bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet dan lain-lain).
2.  Penyelenggaan kliring debet dilakukan secara lokal di setiap wilayah kliring oleh Penyelenggara Kliring Lokal (PKL).
3.  PKL akan melakukan perhitungan kliring debet berdasarkan Data Keuangan Elektronik (DKE) debet yang dikirim oleh peserta.
4.  Hasil perhitungan kliring debet secara lokal tersebut selanjutnya dikirim ke Sistem Sentral Kliring (SSK) untuk diperhitungkan secara nasional oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN).
Kliring Kredit
1.  Digunakan untuk transfer kredit antar bank tanpa disertai penyampaian fisik warkat (paperless).
2.  Penyelenggaraan kliring kredit dilakukan secara nasional oleh Penyelenggara Kliring Nasional.
3.  Perhitungan kliring kredit dilakukan oleh Penyelenggara Kliring Nasional atas dasar Data Keuangan Elektronik kredit yang dikirim peserta.
Batasan Nominal
1.  Nilai nominal warkat debet tidak dibatasi kecuali untuk warkat debet yang berupa nota debet, yaitu setinggi-tingginya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per nota debet. Pembatasan nilai nominal pada nota debet tidak berlaku apabila nota debet diterbitkan oleh Bank Indonesia dan ditujukan kepada bank atau nasabah bank.
2.  Khusus untuk transfer kredit, nilai transaksi yang dapat diproses melalui kliring dibatasi di bawah Rp100.000.000,00 sedangkan untuk nilai transaksi Rp100.000.000,00 ke atas harus dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).

Mekanisme Kliring
Dalam pelaksanaannya, kliring harus dihadiri oleh peserta-peserta yang terdiri dari Bank Indonesia, bank-bank umum, dan kantor cabang-cabang. BI atau bank umum yang ditunjuk sebagai penyelenggara oleh Bank Indonesia, harus yakin bahwa para peserta kliring mempunyai jaminan kliring pada bank penyelenggara, karena hal tersebut adalah syarat utama bagi para peserta kliring untuk mengikuti proses kliring. Dalam proses kliring biasanya ada pihak-pihak yang mempunyai “utang” dan ada pihak-pihak yang mempunyai “piutang”. Pihak yang mempunyai “utang” adalah bank yang mendapat tagihan dari bank lainnya.
Sepanjang tidak ada penolakan dari bank yang bersangkutan mengenai tagihan yang masuk kepadanya, bank penyelenggara akan mengurangi saldo rekening bank tersebut sebesar jumlah tagihannya. Peristiwa ini biasa disebut dengan istilah kliring masuk. Sedangkan pihak yang mempunyai “piutang” adalah bank yang melakukan tagihan kepada bank lainnya. Sama dengan kliring masuk, maka sepanjang tidak ada penolakan dari pihak lawan, pihak penyelenggara (dalam hal ini Bank Indonesia) akan menambah rekening bank yang bersangkutan sebesar jumlah tagihannya. Peristiwa ini biasa disebut dengan istilah kliring keluar.
Perhitungan kliring yang melibatkan dua bank, penyelesaian utang-piutangnya akan dilakukan dengan mudah dan cepat, namun bila melibatkan banyak bank prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama dan cenderung lebih rumit. Sehingga penyelesaiannya perlu dilakukan pada suatu lembaga yang yang merupakan tempat untuk memperhitungkan utang-piutang antarbank yang terlibat dalam proses kliring yaitu Lembaga Kliring.

Bank yang bisa mengikuti kliring
Setiap Bank dapat menjadi peserta dalam penyelenggaraan SKNBI di suatu wilayah kliring, kecuali BPR (Bank Perkreditan Rakyat), Kantor Bank yang akan menjadi peserta wajib menyediakan perangkat kliring, antara lain meliputi perangkat Terminal Pusat Kliring dan jaringan komunikasi data baik main maupunback up untuk menjamin kelancaran kepada nasabah dalam bertransaksi.

Jenis-jenis Cek

Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai contoh jika di dalam cek tertulis perintah bayarlah kepada: Tn. Roy Akase sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp 1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan dicoret.

Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun.

Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai pemindahbukuan.

Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal seka¬rang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn. Roy Akase bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum memiliki dana pada saat itu.

Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai 60 juta rupiah yang tertulis di dalam cek tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.

RTGS (Real Time Gross Settlement)
RTGS adalah jasa transfer uang valuta Rupiah antar Bank baik dalam satu kota maupun dalam kota yang berbeda secara real time. Hasil transfer efektif dalam hitungan menit.

Karakteristik:
Dapat dilakukan di seluruh cabang Bank
Pengiriman hanya dalam bentuk mata uang Rupiah
Batas waktu transfer sesuai waktu yang ditentukan Bank

Manfaat:
Memudahkan Nasabah dalam melakukan transaksi bisnis khususnya dalam hal transaksi keuangan sehingga kredibilitas Nasabah dapat terjamin.
Dana yang ditransfer Nasabah dalam hitungan menit dapat diterima di Bank tujuan dengan aman dan mudah.
Tidak perlu membawa uang tunai untuk menyelesaikan bisnis.
Peruntukkan:
Perorangan
Badan Usaha/badan hokum

Syarat:
Mandiri
Mengisi slip transfer
Dikenakan biaya RTGS sesuai ketentuan Bank


softskill 1


dede sumarni
31112780
3db10




MAKALAH PERBANKAN DI INDONESIA DALAM MEMFASILITASI PERDAGANGAN LUAR NEGRI MENGGUNAKAN LC (Letter of Credit)


BAB I

PENDAHULUAN
1.   LATAR BELAKANG
Meningkatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi perhubungan khususnya pengangkutan dan telekomunikasi pada masa sekarang ini maka perbedaan dan ketergantungan antara negara tersebut tidak sulit lagi diatasi.  Hasil atau produk yang berlebihan dalam suatu negara dengan mudah ditawarkan pada layar kaca kecil (televisi) melalui internet untuk dijual keluar negarI  demikian pula kebutuhan dalam suatu negara yang tidak dapat diproduk atau dihasilkan sendiri dapat dibeli dari luar negeri.dengan mudah.  Perdagangan antar negara sekarang ini sudah merupakan hal yang umum dan biasa.  Transaksi dapat berjalan lancar dan dalam waktu yang tidak lama. Jika dibandingkan pada masa 15 tahun sebelumnya dimana peralatan dan sarana belum memadai sehingga untuk melakukan suatu transaksi internasional membutuhkan waktu yang lama.   Peningkatan tehnologi dalam segala bidang ini sangat membantu negara-negara yang membutuhkan bantuan negara lain untuk mengolahnya produk yang dihasilkan dalam negerinya   tetapi masih dalam bentuk setengah jadi.  Pedagang, dalam hal ini eksportir/penjual dan importir/pembeli  dalam melakukan transaksi  melahirkan hak dan kewajiban, baik bagi pihak eksportir maupun bagi pihak importir.  Eksporitr wajib menyerahkan barang sesuai dengan perjanjian dan berhak menerima sejumlah pembayaran atas harga barang yang telah diserahkan/dijual.  Sedangkan importir wajib menyerahkan sejumlah uang untuk membayar atau melunasi harga barang yang telah diterima/ dibeli dan berhak menuntut penyerahan barang yang telah dibayar/dilunasi harganya tersebut.
Transaksi perdagangan yang para pihaknya  berada disuatu tempat yang sama dan saling berhadapan,  maka pemenuhan hak dan kewajibannya tidak mengalami banyak masalah karena hak dan kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara langsung  (cash and carry).  Akan tetapi apabila pembeli dan penjualnya terpisah, antar negara, maka akan menimbulkan beberapa masalah karena perbedaan-perbedaan yang antara lain :
–     perbedaan penerapan peraturan oleh sistem hukum masing-masing negara
Dalam perdagangan internasional sering terjadi bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat terlaksana dengan baik disebabkan adanya larangan dari Pemerintah setempat untuk membeli (mengimpor) atau menjual (mengekspor)  komoditi tertentu yang merupakan obyek jual beli.

–     perbedaan penggunaan mata uang  dalam bertransaksi
Penggunaan mata uang asing, nilai tukar mata uang asing tersebut terhadap mata uang setempat harus diperhitungkan dengan cermat agar pihak pembeli tetap mampu membayar bila terjadi devaluasi  pada saat harus membayar harga barang yang diterima atau pihak penjual tetap memenuhi standar mutu barang sesuai dengan perjanjian meskipun  harus mengalami kerugian.
–     perbedaan kebiasaan-kebiasaan umum termasuk istilah-istilah setempat.
Demikian pula dalam melakukan pembayaran transaksi face to face , pembeli akan melakukan pembayaran atas harga barang yang dibeli/diterimanya jika ia telah merasa yakin bahwa kondisi barang yang diterimanya itu sudah sesuai dengan kehendaknya, baik mutu maupun jumlahnya sehingga terjadilan pembayaran secara tunai (cash payment) atau secara kredit.  Dalam perdagangan internasional, para pihak tidak berhadapan langsung dan barang yang akan dibeli juga tidak dilihat atau diteliti secara langsung sehingga adalah sangat berisiko tinggi apabila pembeli langsung melakukan pembayaran harga barang yang belum diterima.

Di Indonesia, ketentuan perjanjian jual beli  diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Buku III Bab V Burgerlijk Wetboek (BW).   Dari 83 pasal ini, tidak satupun pasal yang mengatur tentang cara pembayaran yang harus digunakan dalam perdagangan.  Hal ini disebabkan karena sistem hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka dengan azas kebebasan berkontrak, azas konsensualitas terbuka dan azas kekuatan mengikat dari perjanjian.   Ketentuan-ketentuan dalam BW hanya mengatur hal-hal pokok tentang perjanjian jual beli yang umumnya bersifat pelengkap dan akan digunakan jika ada hal-hal yang belum diatur pada perjanjian para pihak.  Misalnya dalam Pasal 1478 BW diatur bahwa penjual tidak wajib menyerahkan barang jika pembeli belum melakukan pembayaran.  Apabila dalam perjanjian jual beli antara penjual dengan pembeli disyaratkan bahwa penjual harus menyerahkan barangnya terlebih dahulu kemudian setelah pembeli menerima barang tersebut baru dilakukan pembayaran maka jika penjual menolak menyerahkan barang dengan alasan pembeli belum membayar  maka penjual dapat dianggap wanprestasi.

Ketentuan mengenai pembayaran, hanya disebutkan dalam pasal-pasal tentang kewajiban pembeli, yaitu Pasal 1513 BW, bahwa kewajiban utama Pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian dan Pasal 1514 BW mengatur bahwa jika penentuan waktu dan tempat tidak diperjanjikan maka akan dilakukan pada waktu terjadi penyerahan barang.  Jadi yang diatur hanya mengenai waktu dan tempat pembayaran bukan cara pembayaran, sehingga para pihak bisa menentukan sendiri cara pembayaran dalam perjanjian mereka.

Pembayaran pada transaksi dunia perdagangan di samping dilakukan dengan cara tunai (cash payment), dikenal pula beberapa cara lain, yaitu :
·         Pembayaran dimuka (Advance Payment)

Pembayaran yang dilakukan  terlebih dahulu oleh pembeli kepada penjual sebelum barang diterima, bahkan barang tersebut belum dikapalkan.  Dalam pembayaran ini kedudukan antara pembeli dengan penjual tidak seimbang, artinya kedudukan penjual sangat diuntungkan karena penjual telah menerima pembayaran dari barang yang belum dikirim sedang pembeli menghadapi risiko pengiriman barang yang sepenuhnya tergantung dari penjual.
·         Pembayaran Kemudian (Open Payment)

Pembayaran ini kebalikan dari pembayaran dimuka, dimana pembayaran baru akan dilakukan oleh pembeli setelah menerima barang yang dipesannya.  Dalam pembayaran ini kedudukan pembeli lebih diuntungkan karena pembeli telah menerima barang yang belum dibayar sehingga penjual akan menghadapi risiko pembayaran yang sepenuhnya tergantung  pada pembeli.  Pembayaran ini sering juga dikenal dengan istilah Open Account.
·         Collection  Draft  (Wesel Inkasso)

Pembayaran hanya akan dilakukan oleh pembeli kepada penjual jika pembeli telah menerima dokumen-dokumen barang baik berupa financial  document  maupun commercial document yang dikirim oleh penjual.
·         Konsinyasi (Consigment)

Pembayaran akan dilakukan oleh pembeli jika barang yang dititipkan oleh penjual sudah terjual semuanya.  Jadi pembeli dalam hal ini hanya sebagai tempat penitipan untuk menjualkan barang.   Apabila barang yang dititip jual tersebut belum terjual maka penjual tidak bisa menuntut pembayaran dari pembeli meskipun barang tersebut telah lama berada ditangan pembeli.  Pembayaran ini jelas lebih menguntungkan pembeli, karena pembeli tidak perlu menyediakan modal dan tidak menghadapi risiko kerugian akibat barang yang dijualnya tidak laku. Kebalikannya, penjual menghadapi risiko pembayaran yang sangat tergantung kepada niat baik pembeli.
·         Surat Kredit Berdokumen (Letter of Credit)

Surat Kredit Berdokumen atau Letter of Credit  yang biasa disingkat dengan L/C, merupakan surat yang diterbitkan oleh bank atas nama nasabahnya yang bertindak sebagai pembeli untuk kepentingan penjual/beneficiary, yang berisikan kesanggupan membayar sejumlah tertentu kepada penjual/beneficiary melalui bank beneficiary jika beneficiary melengkapi semua dokumen yang disebutkan dalam L/C tersebut dan menyerahkannya kepada bank beneficiary.
Dari berbagai cara pembayaran yang dikenal dalam dunia perdagangan maka cara pembayaran dengan letter of credit lah yang paling menguntungkan kedua belah pihak karena kedudukan pembeli / importir maupun penjual / eksportir seimbang.  Impotir menyerahkan sejumlah uang yang merupakan pembayaran atas harga pembelian barangnya kepada bank untuk dibukakan atau diterbitkan L/C yang ditujukan kepada eksportir melalui bank korespondennya di tempat eksportir berada.  Selanjutnya eksportir menyediakan semua dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut dan menyerahkan ke bank untuk dinegosiasikan.  Jadi secara otomatis dan tanpa syarat apapun eksportir melalui perantara Bank Pembuka L/C dan Bank Pembayar akan  membayar kepada eksportir jika dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut telah dipenuhi oleh eksportir dan diserahkan ke Bank Pembayar.  Kedudukan bank dalam hal ini hanya bertindak sebagai penengah atau perantara karena tidak memihak kepada importir maupun eksportir pada waktu pembayaran dilakukan dan juga sekaligus  bertindak sebagai penjamin karena:

a.  Bank telah dipercaya dan dikenal bonafiditasnya baik oleh si pembeli maupun oleh sipenjual.
b. Sesuai fungsinya yang berkecimpung dibidang keuangan yang setiap transaksi perdagangannya baik dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valas dimonitori oleh Pemerintah.
c.  Bank tertentu, yang telah mempunyai hubungan operasionil keseluruhan dunia sehingga memudahkan pelaksanaan mekanisme pembayaran melalui bank.
Itulah sebabnya maka cara pembayaran dengan L/C yang paling aman dan banyak digunakan dalam perdagangan internasional.
Rumusan Masalah
Bagaimana peranan perbankan di Indonesia dalam menunjang/ mendukung perdagangan luar negri khusunya dengan menggunakan LC ( Letter of Credit ) ?

BAB II

PEMBAHASAN

Dasar hukum penggunaan L/C sebagai cara pembayaran adalah Peraturan Pemerintah  Nomor 1 Tahun 1982 yang mana dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini mengemukakan bahwa pembayaran ekspor dan impor dapat dilakukan dengan metode Letter of Credit dan metode Non Letter of Credit.  Dalam pelaksanaannya L/C yang digunakan adalah yang diatur dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit, Revisi 1993, Publikasi ICC No. 500  atau biasa disingkat menjadi  UCP No. 500 Revisi 1993, hal ini dikemukakan dalam ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1994 sampai saat ini.
Proses Penerbitan dan  pembayaran Letter  of  Credit
Dalam proses dan mekanisme Letter of Credit menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996 dikemukakan 2 hal utama, yaitu:
1.  Proses Penerbitan Letter of Credit
Setiap permohonan penerbitan Letter of Credit oleh Pembeli pada bank harus disertai perjanjian jual beli atausales contract antara Pembeli itu dengan Penjual -orang yang tercantum namanya sebagai penerima L/C-. Sales Contract ini merupakan dasar untuk membuka L/C, karena apa yang disyaratkan dalam sales contractinilah yang dituangkan menjadi syarat L/C pula.  Mulai dari jenis barang yang dibeli, kapan barang tersebut harus dikirim atau dikapalkan, harga, kuantitas, kualitas barang yang dikirim dan syarat/cara pembayarannya.  Kesepakatan antara Penjual dengan Pembeli bahwa cara pembayaran dengan L/C mengharuskan  Pembeli yang merupakan pihak pemohon pembukaan L/C, memohon ke bank agar diterbitkan L/C dengan syarat-syarat yang sama dalam sales contractnya dan syarat-syarat umum lainnya.
Proses terbitnya suatu L/C, mulai dari masuknya permohonan pembukaan L/C sampai diterbitkannya L/C tersebut secara  umum adalah sebagai berikut :
  1. Pembeli atau Applicant menghubungi banknya dan menyatakan maksudnya akan membuka L/C, dengan mengisi formulir permohonan pembukaan L/C yang sudah dibakukan dari bank.  Dalam formulir tersebut telah tersedia kolom tentang kondisi/syarat yang dikehendaki Pembeli/Applicant dalam L/C nya.
  2. Formulir permohonan dari Pembeli/Applicant akan diperiksa apakah tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.  Jika tidak dan setelah  pemohon menyerahkan sejumlah dana sebagai jaminan atas penerbitan L/C maka bank ini akan menerbitkan L/C, yang telah diberi nomor register dan tanggal penerbitan L/C tersebut.  Bank yang menerbitkan L/C ini disebut Opening Bank / Issuing Bank.  Opening Bank akan meneruskan L/C nya langsung ke bank Penjual apabila bank Penjual tersebut adalah koresponden banknya,  jika bukan maka akan melalui bantuan bank penerus ke bank Penjual.  Kedudukan bank Penjual sebagai Paying Bank / negotiation Bank, tergantung dari hubungannya dengan issuing Bankdan syarat dari L/C itu sendiri.
  3. Bank Penerima L/C akan meneruskan L/C itu  ke Bank Penjual apabila Bank Penjual merupakan bank penerus dan Bank Penjual akan menghubungi Penjual untuk menyampaikan bahwa ada L/C untuknya.
Jadi dalam proses penerbitan L/C ini minimal melibatkan 4 pihak, yaitu:
– Pembeli /  importir / applicant , yang juga merupakan pihak pemoho penerbitan L/C;
– Opening /Issuing Bank , pihak yang menerbitkan L/C
– Paying / Negotiating Bank, pihak yang meneruskan L/C ke penjual
– Penjual / Beneficier / eksportir, pihak penerima L/C.
2.  Proses Pembayaran Letter of Credit
Setelah suatu L/C yang telah diterima oleh Bank Penjual dan memberikan ke Penjual maka proses pembayaran L/C tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Berdasarkan L/C yang diterima, Penjual menyiapkan barang yang akan dikirim dan sekaligus mengurus semua perlengkapan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut lalu menyerahkan ke pihak bank Penjual.
  2. Bank Penjual yang bisa merupakan Paying Bank atau Negotiating Bank itu akan menerima dokumen dari Penjual dan memeriksanya.  Bila dokumen-dokumen tersebut sudah sesuai dengan yang disyaratkan dalam L/C maka bank akan mengambil alih atau menerima semua dokumennya dan melakukan pembayaran kepada Penjual sebesar nilai nominal yang tercantum dalam L/C setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah ditetapkan oleh bank.
  3. Selanjutnya Paying Bank mengirim dokumen-dokumen yang diterima dari Penjual ke issuing Bank.  Bank Pembayar hanya akan mengirim dokumen barang ke   issuing Bank   jika Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi dan dokumen keuangannya (financial documents) ke Bank Tertarik.  Penentuan suatu Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya tergantung dari hubungan Bank Pembuka dengan Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik dan hal ini sudah ditentukan dalam L/C nya.
  4. Setelah Bank Pembuka   -baik sebagai Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya-  menerima dokumen tersebut maka diperiksanya.  Jika dokumen-dokumen itu sudah sesuai dengan syarat yang diminta dalam L/C maka Bank Pembuka atau Bank  Tertarik akan membayar kepada Bank Pembayar atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya.  Sedangkan Bank Penegosiasi tidak akan melakukan lagi pembayaran ke Bank Pembayar.
  5. Bank Pembuka menyampaikan ke pembeli bahwa dokumen-dokumen atas L/C yang dibuka telah ada.
  6. Pembeli membayar semua biaya yang telah dikeluarkan oleh Bank Pembuka setelah diperhitungkan dengan jaminan awal yang telah diserahkan Pembeli pada waktu L/C akan diterbitkan.
  7. Bank menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada Pembeli dan dokumen-dokumen itu kemudian digunakan untuk pengambilan barang oleh Pembeli.
Dari proses penerbitan dan  pembayaran Letter  of  Credit dapat dilihat bahwa yang menentukan dilakukannya pembayaran atas suatu L/C tergantung pada kelengkapan dokumen yang ditentukan dalam L/C.  Secara garis besar dokumen-dokumen L/C ada 2 macam,  yaitu :
  1. dokumen financial, yang terdiri dari wesel/draft
  2. dokumen barang, yang antara lain adalah commercial Invoice, Bill of Laiding, Packing List, Insurance Policy, Certificate of Origin, Certificate of Quality, Certificate of Health, PEB dan lain-lain tergantung dari jenis barang yang diperjual belikan.
Jenis dokumen barang yang disyaratkan dalam L/C ini tergantung dari kesepakatan para pihak apa yang diinginkan selain mengikuti kebiasaan umum dalam perdangan jenis objek jual beli tersebut.
Apabila dokumen yang disyaratkan dalam L/C tidak sama persis dengan dokumen yang diajukan oleh eksportir atau terdapat penyimpangan-penyimpangan maka yang dapat dilakukan oleh Paying Bank adalah :
  1. menunda pembayaran dan mengembalikan dokumen tersebut ke eksportir untuk diperbaiki.
  2. menyarankan / meminta agar eksportir segera menghubungi importir untuk dilakukan perubahan/amandement atas syarat-syarat L/C agar sesuai dengan kondisi dokumen eksportir.
  3. melakukan pembayaran dengan ada jaminan dari eksportir bahwa pembayaran akan dikembalikan apabila issuing bank menolak melakukan pembayaran karena penyimpangan tersebut.
Paying Bank tidak berwenang untuk merubah atau menafsirkan lain  persyaratan dokumen dalam L/C.  Apabila atas inisiatif Paying Bank melakukan pembayaran terhadap L/C yang persyaratannya tidak sesuai dengan L/C maka issuing bank berhak  menolak  penggantian uang paying bank yang telah diterima oleh eksportir, hal ini merupakan tanggung jawab paying bank sendiri.
Keadaan barang yang tidak sesuai dengan hal yang tertera dalam dokumen terlampir, ini bukan merupakan tanggung jawab dari bank.   Importir dapat menggugat eksportir melalui pengadilan atau arbitrase, hal ini tergantung perjanjian mereka yang mengatur tentang cara penyelesaian jika terjadi perselisihan.  Bank hanya berurusan dengan dokumen oleh karena itu tidak bertanggung jawab terhadap kondisi barang yang sebenarnya.
Cara pembayaran dengan L/C ini peranan bank sangat penting karena tanpa bank maka tidak ada L/C  yang diterbitkan.  Tujuan bank bertindak sebagai penjamin atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh applicant / importir dengan beneficier / eksportir adalah untuk mendapat profit dari jasa yang diberikan dan disamping itu juga untuk menunjukkan eksistensinya dan reputasinya sebagai bank yang dipercayai diluar negeri.  Menurut ketentuan Bank Indonesia maka sekali bank telah menerbitkan L/C maka tidak dapat lagi membatalkan L/C tersebut dengan alasan apapun kecuali L/C tersebut yang sendiri tidak berlaku lagi karena kadaluwarsa, maksudnya karena telah melewati jangka waktu berlakunya L/C sebagaimana telah ditentukan dalam L/C tersebut sendiri.  Hal ini untuk mencegah pembatalan L/C yang dapat merugikan salah satu pihak yang telah mengeluarkan biaya untuk penyediaan barang.   Oleh karena itu issuing bank bertanggung jawab sepenuhnya atas L/C yang diterbitkan sepanjang semua syarat dalam L/C telah dipenuhi.

LETTER OF CREDIT

1. Pengertian
Letter of credit, atau sering disingkat menjadi L/C, LC, atau LOC, adalah sebuah cara pembayaran internasional yang memungkinkan eksportir menerima pembayaran tanpa menunggu berita dari luar negeri setelah barang dan berkas dokumen dikirimkan keluar negeri (kepada pemesan).

2. Pihak–pihak Yang Terlibat
Ada beberapa pihak yang secara langsung terlibat dalam transaksi menggunakan letter of credit. Pihak-pihak tersebut, yaitu:

1) Importir (Pembeli)
Importir, atau pihak pembeli, merupakan pihak yang mengeluarkan letter of credit, maksudnya, mengeluarkan perjanjian untuk membayar sejumlah uang kepada pihak eksportir (penjual), ketika seluruh tanggung jawabnya telah dipenuhi. Umumnya, harus ada jaminan terhadap kredibilitas pihak importir, untuk menghindari kaburnya pembeli dari tanggung jawab.

2) Eksportir (Penjual)
Eksportir, atau pihak penjual, adalah tujuan dari terbitnya letter of credit, maksudnya, pihak eksportir akan menerima pembayaran melalui letter of credit tersebut ketika seluruh tanggung jawabnya telah diselesaikan. Ketika akan mengklaim pembayaran melalui letter of credit tersebut, pihak eksportir harus mampu menunjukkan semua dokumen yang dipersyaratkan.

3) Bank penerbit (Bank pembuka/opening bank/issuing bank/importer’s bank)
Bank ini terdapat di negara importir, dan menerbitkan letter of kredit, yang akan menjadi perjanjian bayar kepada bank penerima.

4) Bank penerus (Advising bank/seller’s bank/correspondent bank)
Bank ini melakukan penegasan (confirming), terhadap keaslian dan kelengkapan dokumen letter of credit. Bank ini secara umum bertugas menginformasikan kepada pihak penjual bahwa ada letter of credit yang ditunjukkan pada pihak penjual, dan telah diperiksa keasliannya.

5) Bank pembayar (paying bank)
Bank ini terdapat di negara eksportir, di mana disebutkan dalam letter of credit sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran kepada pihak eksportir (sering disebut “beneficiary”), jika persyaratannya telah dipenuhi seluruhnya.

6) Bank negosiasi (negotiating bank)
Bank yang menyetujui pembelian wesel draft dari eksportir.

7) Bank pengganti (reimbursing bank)
Suatu bank yang sifatnya netral jika antara bank eksportir dan bank importir tidak memiliki hubungan rekening untuk menyelesaikan proses pembayaran.

3. Asas-asas Dalam Pembayaran Menggunakan Letter Of Credit
Terdapat sejumlah asas dalam pembayaran menggunakan letter of credit. Berikut akan secara singkat dijelaskan asas-asas tersebut.
Ø The Rule of Strict Compliance (Aturan Kesesuaian)
Aturan ini mengatur bahwa segala dokumen perdagangan yang ada harus betul-betul sama dengan keterangan yang ada di dalam letter of credit, termasuk bill of lading, invoice, insurance policy, dan seluruh dokumen yang diminta. Sedikit saja perbedaan dapat membuat bank menolak mengakui otentisitas dokumen-dokumen tersebut.

Misal: dalam kasus Courtaulds North America, Inc. v. North Carolina National Bank (1975), tergugat menuliskan dalam letter of credit keterangan barang yang diperjualkan sebagai “100% Acrylic Yarn”, sementara pada invoice tertulis “Cartons marked: 100% Acrylic” (kehilangan ‘Yarn’). Bank dengan demikian menolak karena terjadinya perbedaan antara dua berkas tersebut.
Ø Principle of Separation (Asas Pemisahan)
Aturan ini mengatur bahwa pembuatan letter of credit berbeda dengan perjanjian dagang (contract) antara kedua pihak. Dengan demikian, bank hanya berurusan dengan dokumen letter of credit (dan dokumen penyertanya, sebagai bentuk verifikasi), bukan berurusan dengan barang-barang yang diperdagangkan.

4. Jenis-jenis Letter Of Credit Secara Umum
Secara umum, terdapat tiga jenis letter of credit:

1) Revocable L/C: letter of credit yang dapat secara sepihak (unilaterally) diubah isinya atau dibatalkan (amended or cancelled) tanpa pemberitahuan terlebih dahulu/persetujuan dari eksportir (without prior notice/consent of the beneficiary). Letter of credit ini sangat beresiko bagi eksportir, karena bisa saja barang sudah dikirimkan tapi letter of credit kemudian dibatalkan, atau memberikan kesulitan bagi eksportir untuk menerima pembayaran.

2) Irrevocable L/C: letter of credit yang tidak dapat dirubah dan dibatalkan, kecuali oleh karena persetujuan dari kedua belah pihak.

3) Irrevocable and Confirmed L/C (atau sering secara singkat disebut Confirmed L/C): letter of credit ini digunakan untuk memberikan jaminan ganda bahwa pembayaran pasti akan dilakukan. Umumnya digunakan jika terdapat keraguan terhadap integritas suatu sistem perbankan. Confirmed letter of credit diperoleh dari bank yang umumnya terdapat di negara eksportir, bahwa pembayaran akan tetap dilakukan meskipun terdapat masalah di negara yang bersangkutan (misal: krisis, kudeta, dst).

5. Jenis-jenis Letter Of Credit Menurut Sifat Pembayarannya
Menurut sifat pembayarannya, terdapat tiga jenis letter of credit:
1) Sight L/C: pembayaran terhadap suatu letter of credit dilakukan ketika seluruh kewajiban yang telah dilakukan telah selesai, dan pembayaran dilakukan ketika penyelesaiannya telah terlihat (sight). Pembayaran harus dilakukan saat itu juga, atau paling terlambat 7 (tujuh) hari setelahnya.

2) Usance L/C: pembayaran terhadap letter of credit dilakukan pada tanggal jatuh tempo, yaitu suatu tanggal beberapa hari sesudah tanggal dikapalkannya barang tersebut (biasanya tanggal bill of lading).

3) Red Clause L/C: nama diambil dari penggunaan tinta merah dalam penulisan letter of credit ini; Red Clause L/C mensyaratkan bahwa pembayaran dilakukan sebelum barang dikapalkan. Red Clause L/C umum dilakukan pada transaksi dengan perusahaan kecil, karena pembayaran yang dimaksud akan dijadikan modal untuk membuat barang yang dimaksud (maka sering juga disebut sebagai ‘loan’).

6. Jenis-jenis Letter Of Credit Menurut Persyaratannya
Menurut persyaratannya, terdapat enam jenis letter of credit:
1) Open L/C (sering disebut Negotiable L/C): letter of credit ini memberikan kebebasan kepada pihak eksportir (beneficiary) untuk menegosiasikan dokumen-dokumen persyaratan kepada bank manapun yang ditunjuk eksportir.
2) Restricted L/C: kebalikan dari jenis pertama, di mana pembayaran letter of credit dibatasi pada bank yang telah tercantum pada letter of credit.
3) Documentary L/C: letter of credit ini mensyaratkan bahwa bank akan membayar eksportir (beneficiary) jika dan hanya jika seluruh dokumen perdagangan yang menyertainya telah diberikan kepada bank (maka nama jenis letter of credit ini adalah ‘documentary’).
4) Revolving L/C: jenis letter of credit ini sering digunakan ketika kedua partai (eksportir dan importir) sering terlibat dalam perdagangan secara reguler (berulang-ulang/teratur). Dengan sistem ini, seluruh perdagangan secara reguler tersebut dapat menggunakan hanya 1 (satu) letter of credit (1 L/C yang berlaku untuk keseluruhannya); dan setelah letter of credit tersebut diklaim pembayarannya, akan kembali berlaku dengan jumlah yang sama.
5) Back-to-back L/C: back-to-back letter of credit merupakan suatu bentuk pembayaran yang khas. Dalam pembayaran ini, pihak eksportir berada di tengah-tengah dua proses perdagangan: [1] eksportir menjual barangnya kepada sorang pembeli (importir); [2] si eksportir juga melakukan pembelian dari suatu penyedia (supplier) barang. Dalam kedua kegiatan tersebut dapat digunakan sebuah L/C yang disebut back-to-back, yang pada pokoknya berarti si eksportir dapat menggunakan L/C yang menjadi alat pembayaran pada kegiatan [1] di atas untuk membayar kegiatan pembelian [2] di atas (sehingga pada pokoknya sebetulnya back-to-back L/C ini seolah-olah merupakan dua L/C). Back-to-back L/C sering digunakan ketika kedua kegiatan di atas terjadi tidak dengan pembuat (manufacturer), maka jika anda lihat di atas, penjual dan pembeli tidak melibatkan pembuat barangnya. Jenis L/C ini juga sering digunakan oleh penengah (intermediary) dengan modal sedikit, sehingga “dana masuk” (L/C yang dibayarkan) langsung “diputar” untuk membayar barang yang dibeli.
6) Transferable L/C: jenis letter of credit yang dapat dipindahtangankan kepada satu beneficiary lain. Perlu dicatat bahwa perpindahan tersebut hanya dapat terjadi satu kali, kecuali terdapat kesepakatan lain.
7. Keuntungan Dan Kerugian Penggunaan Letter Of Credit
Berikut adalah beberapa keuntungan pemakaian letter of credit dalam transaksi perdagangan internasional:
1) Berguna bagi eksportir dan importir yang belum mengenal secara baik, artinya letter of credit menyediakan suatu jaminan legal bahwa proses pembayaran akan diselesaikan hingga tuntas.
2) Eksportir dapat mempercayai bahwa pembayaran akan betul-betul diselesaikan. Misal: dalam penggunaan sight L/C, pembayaran akan segera dilakukan ketika seluruh tanggung jawab diselesaikan.
3) Importir dapat melakukan impor barang dengan dana yang minim, setidaknya memberi waktu untuk memenuhi kewajibannya sampai barang selesai dikirimkan kepada importir.
4) Importir dapat diyakinkan bahwa pembayaran akan dilakukan hanya jika seluruh persyaratan dipenuhi (a.l. dokumen-dokumen perdagangan internasional)
Ø Kerugian digunakannya letter of credit:
1) Bank tidak terlibat dalam pemeriksaan barang, sehingga meskipun persyaratan dokumen dapat dipenuhi seluruhnya, sangat mungkin terjadi bahwa kondisi barang tidak sesuai yang dijanjikan.
2) Penggunaan L/C memakan biaya yang cukup banyak, terutama mulai dari permintaan diterbitkannya L/C sampai klaim pembayaran dari L/C.
3) Terdapat banyak waktu yang dibuang dalam proses pembayaran menggunakan L/C


Contoh Kasus Letter Of credit

Ø Kasus 1
1. Kasus L/C Fiktif Bank Bni

Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of Credit (di ingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro.

A.     Profil Singkat Bank BNI
Bank BNI didirikan pada tahun 1946. Perusahaan publik ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bank BNI merupakan bank terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BCA dengan total aset pada tahun 2003 sebesar IDR. 131,49 triliun.
Visi  : Menjadi Bank kebanggaan nasional yang unggul dalam layanan dan kinerja
Misi : Memaksimalkan stakeholder value dengan menyediakan solusi keuangan yang fokus pada segmen pasar korporasi, komersial dan konsumer
Budaya Perusahaan
1.     BNI adalah bank umum berstatus perusahaan publik.
2.     BNI berorientasi kepada pasar dan pembangunan nasional.
3.    BNI secara terus menerus membina hubungan yang saling menguntungkan dengan nasabah dan mitra usaha.
4.     BNI mengakui peranan dan menghargai kepentingan pegawai.
5.   BNI mengupayakan terciptanya semangat kebersamaan agar pegawai melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional.

B.     Ringkasan Kasus
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang gila-gilaa besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
- Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
-  Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
-  Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun
-   Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
-  Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu
-  Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
-   Skim : Usance L/C

Kronologi :
1.Bank BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105 milyar. 3. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4. Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah terjadi.
5.Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun) merupakan potensi kerugian BNI.
Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian (potential losses).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ? Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui letter of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus pembobolan Bank BNI.

Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan yang akan dibahas pada paper ini adalah sebagai berikut :
A.Apa saja perikatan yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam transaksi L/C ?
B.Apa saja pelanggaran/penyimpangan yang terjadi dalam penanganan transaksi L/C-L/C tersebut di Bank BNI ?
C.Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan datang ?

Landasan Teori
Dalam perdagangan internasional, sistem pembayaran dengan menggunakan Letter of Credit (atau disingkat L/C) adalah sistim yang paling baik dan fair baik bagi eksportir maupun importir. L/C merupakan sistem yang paling lazim digunakan para eksportir dan importir karena dalam pelaksanaan L/C, semua pihak, termasuk bank, hanya berurusan dengan dokumen, bukan dengan barang, jasa, atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen bersangkutan. Dengan menggunakan L/C para pihak mendapatkan perlakuan fair, karena kepemilikan atas barang yang diperdagangkan baru dapat berpindah tangan jika semua pihak telah memenuhi kewajibannya.

A.     Definisi-Definisi dalam Transaksi Letter of Credit
Pada umumnya L/ C digunakan untuk membiayai penjualan barang/jasa jarak jauh antara eksportir dan importir.
Definisi L/C menurut CFG Sunaryati Hartono : ”Secara harfiah L/C dapat diterjemahkan sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau Surat Tagihan, tetapi sebenarnya L/C lebih merupakan janji akan dilakukan pembayaran,apabila dan setelah terpenuhi syarat-syarat”
Bank Indonesia memberikan definisi mengenai L/C sbb :
”Letter of Credit adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi Letter of Credit tersebut”
Sedangkan menurut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, ICC Publication No. 500 tahun 1993 (UCP 500), definisi L/C adalah : ”Setiap perjanjian, apapun namanya atau maksudnya, dimana suatu bank (Issuing Bank atau bank penerbit) bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (Applicant/pembuka) atau atas namanya sendiri, untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau kuasanya (orang yang ditunjuk oleh beneficiary/penerima L/C) atau memberikan kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran, atau untuk mengaksep dan membayar bill of exchange/wesel, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditetapkan, asalkan memenuhi persyaratan dan kondisi L/C”

Berikut ini diuraikan definisi istilah-istilah dalam kaitannya dengan transaksi ekspor dan impor menggunakan L/C :

1.Applicant atau Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penerbitan/pembukaan L/C applicant biasanya adalah importir
2.Issuing Bank/Opening Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh applicant untuk menerbitkan L/C
3. Advising Bankatau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir
4. Negotiating Bank atau Bank Penegosiasi adalah bank yang diberi kuasa oleh Issuing Bank untuk membayar sejumlah uang kepada beneficiary, sepanjang beneficiary telah menyerahkan dokumen-dokumen ekspor yang sesuai dengan syarat dan kondisi L/C
5.Benefiary atau Penerima adalah pihak yang menerima L/C dan biasanya juga adalah eksportir.
6. Confirming Bank adalah bank yang ditunjuk oleh Issuing Bank untuk melakukan pembayaran dalam hal Issuing Bank cidera janji tidak melakukan pembayaran, sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
7.  Sight L/C adalah L/C yang mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya.
8.Usance L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, dimana bank berkewajiban untuk membayar pada waktu tertentu pada masa yang akan datang, misalnya : 180 hari setelah tanggal B/L.
9. Negosiasi adalah pembelian dokumen oleh Negotiating Bank disertai pembayaran kepada beneficiary.

B.     Alur Transaksi Letter of Credit
Sebelum lebih jauh membahas mengenai kasus BNI, terlebih dahulu akan diuraikan sistematika alur transaksi dalam L/C sebagai berikut :
Dari gambar tersebut, berikut diuraikan alur L/C, barang dan uang sbb :
1. Eksportir dan Importir menandatangai kontrak jual beli barang.
2. Importir/pemohon/applicant mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada Bank Pembuka
3. Bank Pembuka menerbitkan L/C dan mengirimkannya melalui korespondennya dinegara eksportir (yang yang menerima disebut Bank Penerus/Advising Bank)
4. Bank Penerus meneruskan L/C melalui banknya beneficiary/penerima L/C.
Banknya beneficiary meneruskan L/C kepada beneficiary
5. Beneficiary menyiapkan barang untuk kemudian mengapalkannya dengan tujuan ke negara importir sesuai kontrak yang disepakati
6. Eksportir kemudian menyerahkan dokumen ekspor, lazimnya terdiri dari Wesel/Bill of Exchange, Bill of Lading, Commercial Invoice, Packing List dan dokumen lain yang dipersyaratkan L/C dan Bank Penegosiasi memeriksa kelengkapan dan kesesuian dokumen dengan L/C dan membayarkan senilai wesel yang diserahkan
7. Bank Penegosiasi mengirimkan dokumen-dokumen yang sudah dinegosiasi kepada Bank Penerbit untuk mendapatkan pembayaran
8. Bank Penerbit membayarkan kepada Bank Penegosiasi
9. Bank Penerbit menyerahkan dokumen tersebut kepada pemohon untuk kemudian pemohon mengambil barang dari pelabuhan.


C. Praktek-Praktek Umum Dalam Menangani Transaksi Letter of Credit
Dalam hubungan dengan penerapan aturan internal bank, maka semua bank telah menetapkan aturan baku dalam menangani transaksi ekspor impor dengan L/C :

1.  Pada saat menerima L/C ekspor, prosedur yang harus dijalani adalah sbb :
a.  Meyakini L/C harus diterbitkan oleh Bank koresponden
Bank koresponden adalah bank yang mempunyai hubungan korespondensi dengan Advising Bank. Korespondensi dalam perbankan diwujudkan dalam bentuk pertukaran angkat test untuk telex, SWIFT Authenticator Key, buku contoh tanda tangan, sehingga jika sebuah bank memerima berita, surat atau surat berharga dari bank korespondennya, maka bank tersebut dapat melakukan otentikasi untuk meyakini kebenaran dan keabsahannya.
b. Meyakini bahwa L/C tersebut tunduk pada UCP 500
c.  Melakukan otentikasi terhadap L/C yang diterima dari Bank Penerbit dengan :
-     Melakukan verifikasi test otentikasi dalam dalam L/C yang diteruskan dengan menggunakan telex atau mencocokkan tanda tangan yang ada dalam L/C dengan contoh tanda tangan yang ada pada adminsitrasi bank.
-     Apabila L/C diteruskan melalui SWIFT dan bank penerbit sudah mempunyai hubungan koresponden dengan bank penerus, maka pada bagian atas SWIFT tersebut akan terdapat indentifiksi bahwa berita SWIFT tersebut telah diotentikasi oleh lembaga penyelenggara SWIFT. Bank harus meyakini adanya bukti otentikasi tersebut.
d. Memeriksa L/C untuk memastikan bahwa syarat-syarat dan kondisi yang ada didalamnya tidak bertentangan peraturan perundangan dan aturan internal bank.
e. Untuk L/C yang diterbitkan dari bank yang kurang terkenal atau berasal dari negara-negara yang resikonya tinggi atau high risk country, apalagi bila dalam jumlah besar, maka bank akan meminta agar L/C tersebut di-kofirm oleh bank yang bonafid (first class bank).
Konfirmasi dalam hal ini merupakan jaminan dari confirming bank yang akan membayar semua tagihan L/C apabila ternyata Issuing Bank wan prestasi untuk membayar tagihan L/C tersebut, sepanjang semua persyaratan dan kondisi L/C telah terpenuhi.

2. Prosedur yang berlaku di Negotiating bank pada saat memproses negosiasi pada umumnya adalah sbb :
a.     Bank harus meyakini bahwa Issuing Bank cukup bonafid, sehingga dokumen yang akan dinegosiasi nantinya pasti dibayar. Untuk meyakini bonafiditas Issuing Bank, biasanya bank mempunyai aturan bahwa Issuing bank haruslah Bank yang sudah mempunyai commercial line atau oleh media masa Indonesia disebut sebagai bank koresponden. Sebenarnya terdapat perbedaan antara Commercial Line dengan bank koresponden.
Commercial Line adalah merupakan line atau limit yang ditetapkan oleh suatu bank terhadap bank lain dengan mempertimbangkan aspek resiko gagal bayar jika bank tersebut mempunyai kewajiban pembayaran. Commercial Line sendiri sebenarnya merupakan common practice di dunia perbankan dan merupakan salah satu cara untuk meminimalisir resiko bisnis, Sementara bank koresponden, biasanya hanya terbatas pada pertukaran sarana otentikasi surat, telex, SWIFT dan sarana korespondensi lainnya.
b. Tahapan selanjutnya adalah memeriksa dokumen-dokumen ekspor yang telah diserahkan oleh beneficiary untuk meyakini bahwa semua dokumen sudah sesuai dengan syarat dan kondisi L/C.
c.  Apabila dokumen yang diajukan adalah untuk Usance L/C, maka Negotiating harus memintakan akseptasi terlebih dahulu kepada Issuing Bank.
Akseptasi adalah pernyataan dari Issuing Bank bahwa mereka mengaksep wesel dan berjanji akan membayar pada tanggal tertentu dikemudian hari (misalnya : 180 hari setelah tanggal Bill of Lading)

D.     Letter of Credit dan Hukum yang Memayunginya
Karena dinilai memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi semua pihak, tak mengherankan jika dalam perdagangan internasional (ekspor impor) pihak eksportir dan importir sepakat menggunakan L/C sebagai sarana pembayaran, tak terkecuali eksportir dan importir di Indonesia.
Di sisi lain, adanya dukungan perbankan juga ikut mendorong penggunaan L/C sebagai sarana pembayaran, karena Bank Indonesia memberikan ijin kepada bank-bank tertentu yang telah memenuhi syarat untuk menjadi bank devisa, sehingga memungkinkan bank-bank devisa tersebut melakukan transaksi perdagangan internasional melalui produk-produk Trade Services dan Trade Finance. Bahkan untuk mendorong dan menggairahkan perdagangan domestik atau antar pulau, Bank Indonesia telah membuat aturan main serupa dengan UCP 500 yaitu Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri atau sering disebut SKBDN.
L/C pada hakikatnya adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam L/C harus dipertahankan secara adil dan terbuka. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan L/C merupakan suatu keharusan karena nilai inti L/C adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang senilai L/C.
Applicant L/C yang meminta bank penerbit untuk menerbitkan L/C berhak atas barang yang dibayar berdasarkan L/C, tetapi berkewajiban untuk membayar kembali kepada bank yang untuk dan atas nama applicant melakukan pembayaran harga barang dengan L/C kepada beneficiary yang menyampaikan kepada bank penerbit, dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C yang mewakili barangyang dijual kepada pemohon. Jika bank penerbit L/C memberi kuasa kepada bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran harga barang kepada penerima L/C, bank penerbit berkewajiban membayar kembali kepada bank yang ditunjuk sejumlah uang yang telah dibayarkannya kepada penerima.
Hak dan kewajiban para pihak adalah sesuai dengan dengan kesepakatan berdasarkan kontrak yang disetujui para pihak yang memuat jumlah pembayaran yang akan direalisiasikan sebagai pengganti pengiriman barang oleh beneficiary kepada pemohon. Saat pelaksanaan hak dan kewajiban juga dilakukan dengan merujuk pada kesepakatan masing-masing pihak berdasarkan kontrak. Demikian juga halnya dengan pembayaran biaya dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.

Dalam menangani transaksi ekspor impor di Indonesia, maka bank harus tunduk kepada :
1. Peraturan internal Bank yang biasanya diwujudkan dalam bentuk Standard Operating Procedure. Peraturan internal bank biasanya dibuat berdasarkan best practice yang berlaku pada bank-bank seluruh dunia.
Layaknya peraturan perundangan di sebuah negara, peraturan internal bank berlaku mengikat kepada seluruh pegawai bank dimaksud, dan akan ada sanksi kepada pegawai yang melakukan pelanggaran atas peraturan internal tersebut.
2. Peraturan/perundangan yang berlaku di Indonesia
Di Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Peraturan Bank Indonesia itu memberikan aturan umum mengenai kewajiban pengelolaan perbankan secara hati-hati atau lebih dikenal dengan prinsip-prinsip prudensial.
3. Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
Ketentuan internasional L/C dimuat dalam UCP. UCP mengatur pelaksanaan L/C secara internasional tetapi hanya bersifat pengaturan umum. Ketentuan tehnis pelaksanaan L/C tidak diatur oleh UCP, tetapi oleh International Standard for Banking Practices dan dalam kerangka negara diatur oleh hukum nasional. UCP dan ISBP tidak mencampuri materi aturan UCP dan ISBP. UCP, ISBP dan hukum nasional tidak mempunyai hubungan hirarkie karena UCP dan ISBP bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan suatu negara.


Analisis
A. Perikatan yang Timbul
Perikatan-perikatan yang timbul di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi L/C adalah sebagai berikut :
1. Antara Pemohon dan Beneficiary dalam bentuk Kontrak :
-  kewajiban pemohon untuk membayar senilai barang yang dikirimkan oleh penjual sesuai kesepakatan
-  kewajiban beneficiary untuk mengirimkan barang yang dipesan sampai ketempat yang telah disepakati.
2. Antara Pemohon dan Issuing Bank dalam bentuk Aplikasi L/C :
- kewajiban pemohon untuk membayar dengan tepat waktu senilai dokumen yang sudah diterima dan diperiksa oleh Issuing Bank
- kewajiban Issuing Bank untuk menerbitkan L/C sesuai instruksi pemohon dan melakukan pemeriksaan dokumen impor yang diterimanya
3. Antara Issuing Bank dan Beneficiary dalam bentuk L/C :
-  kewajiban Issuing Bank untuk membayar sejumlah tagihan wesel ekspor sepanjang semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
-  kewajiban beneficiary untuk menyerahkan dokumen yang disyaratkan dalam L/C
4. Antara Issuing Bank dan Advising Bank dalam bentuk L/C :
-  kewajiban Issuing Bank untuk mengirimkan L/C melalui sarana tercepat kepada advising bank
-  kewajiban Advising Bank untuk mengambil langkah-langkah yang benar dalam meneruskan L/C kepada beneficiary pada kesempatan pertama, sesuai instruksi Issuing Bank
5. Antara Issuing Bank dan Negotiating Bank dalam bentuk L/C :
-  kewajiban Issuing Bank untuk membayar senilai tagihan wesel kepada negotiating bank sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
-  kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu yang ditetapkan UCP
6.     Antara Negotiating Bank dan Beneficiary dalam bentuk Aplikasi Negosiasi :
-     kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu yang lazim dan melakukan pembayaran, jika negotiating bank memutuskan untuk membeli dokumen ekspor
-     kewajiban beneficiary untuk membayar kembali hasil negosiasi yang telah dibayarkan, jika ternyata Issuing Bank wan prestasi.

B.     Pelanggaran/Penyimpangan yang Terjadi
Berikut ini adalah analisa mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dalam penanganan transaksi L/C tersebut di Bank BNI :
1.Pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia dan Perundang-undangan Lainnya
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7 triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank.
Diduga telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L), karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.
Disamping itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Pelanggaran terhadap aturan internal Bank
Semua bank, tak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi.
Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan L/C sbb :

a.     Pada saat meneruskan L/C
Dalam pengamatan penulis, dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya fiktif.
Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden, tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses selanjutnya.
Dalam UCP 500 pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank memutuskan untuk meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan L/C yang diteruskannya. Dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing Bank.
Pasal 7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C, Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C tersebut.
Ada beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut :
i.  L/C tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.
ii. L/C tersebuut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal.
iii. L/C memang tidak di-otentikasi sama sekali oleh Bank BNI
iv.Satu hal yang juga sudah menjadi praktek standard yang dilakukan oleh bank-bank diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C.
b. Pada saat proses negosiasi (diskonto usance L/C)
- Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk menolak negosiasi.
- Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
- Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP pasal 4 : dalam pelaksanaan L/C, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan.
Meskipun UCP pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang barang telah benar-benar dimuat di atss kapal, sehingga bisa diterbitkannya Bill of Lading.
Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat.
- Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa dilaksanakan negosiasi.
c. Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C)
Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak Issuing Bank wan prestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance.
Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi oleh Issuing Bank.
Disamping itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.
Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak di-konfirm, untuk L/C yang di-konfirm Negotiating Bank tidak mempunyai hak regres (pasal 9.iv UCP 500)
Jadi dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh Negotiating Bank untuk meng-eksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi negosiasi.
Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada nasabahnya.
3.     Pelanggaran terhadap UCP 500
Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wan prestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka Issuing Bank dimaksud telah melanggar pasal 9.a.iii, UCP 500 yang antara lain berbunyi : Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :
(i)    apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas unjuk (sight) – untuk membayar atas unjuk;
(ii)  apabila L/C mensyaratkan pembayaran kemudian (defferred payment) – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;
(iii) apabila L/C mensyaratkan akseptasi :
(a). oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik olehbeneficiary pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo
(b). Oleh bank tertarik lainnya untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik tersebut pada saat jatuh tempo.

4.  Penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sbb:
-    Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank (Commercial Line)
-   Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal untuk yang L/C berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya di-konfirm.
-  Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo), dengan analisa 5C (Character, Capability, Capital, Collateral & Condition) dan Trade Line
- Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen

5.  Pelanggaran terhadap Etika
Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar.

6.     Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Sehubungan dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :

Vonis terhadap pelaku internal BNI :
No     Nama     Jabatan     Vonis PN
1. Edi Santosa Kabid Pelayanan luar negeri BNI Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur hidup
2. Kusadiyuwono Kepala Cab. BNI Kebayoran Baru Penjara 16 tahun

Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :
No     Nama     Jabatan     Vonis PN
1.Olah Abdullah Agam  Direktur PT Gramarindo Legal Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp300 juta
2 Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp200 juta
3. Adrian P. Lumowa     Direktur Magnetique Esa Indonesia     15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp400 juta
4. Titik Pristiwanti  Direktur Binekatama Pasific  8 tahun penjara & denda Rp300 juta
5. Richard Kuontul  Direktur Netrantara 10 tahun penjara & denda Rp150 juta



Ø Kasus 2
A. Ringkasan Kasus
Sebelum pecahnya Perang Teluk Kedua, Perusahaan Naijing dijual 2000 ton plastik ethotic (senilai 2,18 juta USD) untuk sebuah perusahaan Singapura. Setelah kontrak itu disegel, penjual menerima letter of credit dari pembeli dan kemudian membuat pengiriman menurut artikel kontrak. Apa yang tak terduga adalah bahwa Perang Teluk tidak mengatur harga dari produk minyak melonjak, sebaliknya, harga anjlok. Setelah menerima barang, pembeli mengklaim bahwa barang rusak, karena itu, meminta pemotongan harga 200 dolar. Jika tidak, mereka akan menolak untuk membayar. Namun, bila pembeli mengajukan surat tersebut ke bank, tidak ada konsistensi dalam surat kredit. Dan bank tidak menolak dokumen atau menolak membayar hingga 11 hari kemudian. Dan menurut situasi di atas, pembeli memilih untuk menuntut bank, dan sebagai hasilnya, Mahkamah Agung aturan Singapura mendukung penjual
B. Solusi
Dalam hal ini, kontrak ditetapkan bahwa pembayaran akan dilakukan berdasarkan surat penglihatan yang tidak dapat dibatalkan kredit. Sesuai dengan ketentuan Bea Cukai Uniform dan Praktek Kredit Dokumenter ", dalam surat bisnis kredit, bank memproses dokumen saja, barang tidak terkait dan dokumen. Oleh karena itu, sehingga selama dokumen konsisten, bank harus melakukan pembayaran sesuai dengan voucher. Dalam hal ini, ketika penjual menyerahkan dokumen ke bank, tidak ada perbedaan sama sekali, oleh karena itu, bank tidak memiliki alasan untuk menolak untuk membayar harga pembelian.
Menurut praktik umum, ketika dokumen tidak konsisten satu sama lain, bank harus memberitahu pelanggan secepat mungkin. Menurut jurisprudenc Singapura, bank harus menolak dokumen dalam 3-4 hari pemberitahuan kepada pelanggan. Dalam hal ini, bank menolak untuk menerima dokumen dan membayar harga pembelian 11 hari setelah menerima dokumen, yang jelas tidak konsisten dengan praktek umum dan preseden lokal.
Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini pembeli menuntut harga yang lebih rendah dengan alasan kualitas barang lebih rendah, dan menegaskan bahwa ia akan menolak untuk melakukan pembayaran jika penjual tidak akan menurunkan harga, di bawah ini keadaan, penjual belum membawa gugatan dengan pembeli, melainkan memilih untuk menuntut bank. Dan seperti klaimnya ini juga dibenarkan, hasilnya adalah mendukung penjual. Ini adalah bukti bahwa keputusannya adalah bijaksana dan pendekatan yang efektif.

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan
– Cara pembayaran dengan L/C pada perdagangan internasional  adalah paling aman, baik dilihat dari segi importir maupun eksportir. Masing-masing terlindungi kepentingannya, importir kepentingannya telah dituangkan dalam syarat-syarat  yang harus dipenuhi oleh eksportir.  Apabila syarat-syarat  yang  disebutkan dalam L/C tidak dipenuhi  oleh eksportir maka eksportir tentu tidak mendapat pembayaran dari negotiating Bank.  Sedangkan kalau semua syarat dalam L/C dipenuhi oleh eksportir maka ia berhak atas sejumlah uang yang telah disebutkan dalam nominalL/C tersebut.
– Cara pembayaran dengan L/C pada perdagangan internasional  menurut teorinya dapat dibatalkan tetapi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia maka berdasarkan Surat  L/c yang telah diterbitkan tidak dapat dibatalkan dengan alasan apapun.

Berdasarkan pembahasan-pembahsan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus L/C fiktif BNI tersebut, diduga telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan terhadap 3 aspek sbb :
1.  Ekonomi
Berpotensi merugikan BNI sebesar Rp 1,2 trilyun, karena dari total nilai transaksi L/C, sebesar Rp. 0,5 trilyun telah dikembalikan oleh nasabah.
2.  Hukum
Telah terjadi pelanggaran/penyimpangan terhadap :
-     Aturan Internal BNI
-     Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
-     Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
-     Peraturan BI, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
-     Telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L)
3.     Etika
Pegawai Bank BNI Cabang Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang di BNI.

B. Saran
Melihat pentingnya fungsi L/C sebagai salah satu cara pembayaran yang digunakan dalam perdagangan internasional maka sebaiknya ketentuan L/C ini dibuat dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi misalnya Peraturan Pemerinah bukan hanya merupakan Surat Keputusan Bank Indonesia.
Agar kejadian serupa tidak terulang kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan datang, disarankan melakukan langkah-langkah sbb :
1.  Menerapkan Good Corporate Governance secara konsisten.
2.  Memperketat internal control.
3.  Melakukan pemisahan fungsi risk manajemen dan fungsi marketing.
4.  Selalu mengacu pada best practice dan UCP dalam menangani transaksi L/C.
5.  Memberlakukan aturan kewenangan yang berjenjang dalam memutus fasilitas L/C ekspor.

2. Masalah Dengan Letters of Credit

Produsen tekstil dan garmen skala kecil dan menengah Indonesia menghadapi masalah dengan L/C selain masalah daya saing lainnya.
Industri tekstil dan garmen Indone­sia telah lama menjadi pilar utama bagi perekonomian Indonesia, yang memberikan lapangan kerja dan devisa yang sangat besar. Namun per­saingan di pasar global semakin ketat.
Bagi pengekspor Indonesia, tren yang ada cukup mengkhawatirkan: impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Amerika menurun, dan banyak perusahaan Indonesia bergantung pada pasar ini. Meskipun negara-negara Uni Eropa juga tujuan ekspor yang penting, banyak pengekspor merasa bahwa Uni Eropa adalah pasar yang sulit ditembus karena pesanan yang lebih kecil dan kecend­erungannya membeli dari berbagai sumber. Pasar alternatif lain seperti Jepang juga sulit ditembus, dimana ban­yak perusahaan Indonesia berpendapat standar yang diterapkan terlalu tinggi. Selain itu, konsumen Jepang cenderung sangat loyal kepada produk tertentu dan hubungan yang terjalin dengan pemasok Cina dan Korea sebelumnya. Akibatnya, Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN dengan Jepang yang ditandatan­gani beberapa tahun lalu belum mampu signifikan mendorong ekspor atau investasi Jepang dalam produksi tekstil Indonesia.
Di samping itu, ada kelebihan kapasi­tas produksi garmen di negara-negara pengekspor di seluruh dunia. Kemajuan teknologi yang memungkinkan pengu­saha memenuhi berbagai kebutuhan memperbesar kemungkinan buyer mencari sumber barang yang mereka inginkan dari mana pun di dunia.
Dilatarbelakangi kecenderungan terse­but, hambatan yang dihadapi UKM In­donesia untuk mendapatkan L/C cukup besar; sehingga mengurangi daya saing dalam situasi yang sudah sulit ini.
Perusahaan tekstil dan garmen meng­gunakan L/C untuk mendapatkan modal kerja guna membiayai pesanan mereka. Modal itu sangat penting untuk membeli atau membayar uang muka seluruh bahan mentah dan bahan lain yang dibutuhkan, termasuk kain, benang, retsleting, kancing, dll. Sebagian dari barang itu tersedia di dalam negeri namun banyak pula yang harus diimpor. Jika buyer tidak mau membuka L/C, pengusaha kesulitan cepat mendapatkan bahan mentah– masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin pesanan dipenuhi lebih cepat dari sebelumnya.  Banyak buyer enggan membuka L/C, karena ketatnya persaingan antar pengusaha tekstil sehingga mereka dapat cepat menemukan alternatif yang lebih murah. L/C dari buyer

Jika buyer tidak mau membuka L/C, pengu­saha kesulitan menda­patkan bahan mentah dengan cepat – masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin pesanan dipenuhi lebih cepat dari sebelumnya.

seperti uang muka untuk pembelian. Dana dibutuhkan untuk membuka L/C dan uang itu tidak dapat digunakan untuk keperluan lain. Jika pengusaha dapat menanggung biaya pengadaan bahan dan produksi tanpa uang muka dari buyer, maka buyer dapat menghe­mat uang. Karena itu, mereka memilih mencari produsen yang dapat me­nanggung biaya sendiri dibandingkan pengusaha yang memerlukan pembi­ayaan dari buyer.
Untuk mengatasi masalah ini, menu­rut teori, produsen yang tidak bisa mendapatkan L/C dari buyer dapat meminta kredit dari bank atas tang­gungan sendiri. Jika usaha sedang baik dan buyer dapat diandalkan, ini bukanlah masalah. Namun, di Indone­sia, sejak krisis moneter tahun 1997, bank merasa aman dari risiko dengan menyimpan uang rekening yang pada dasarnya milik pemerintah, dengan bunga sekitar 9 persen. Meskipun bank mungkin memperoleh laba lebih besar dengan memberikan kredit, misalnya sebesar 15 persen, lebih ris­kan menyalurkan kredit dibandingkan dengan keuntungan pasti yang didapat dari pemerintah. Dengan demikian, bank-bank di Indonesia, yang masih enggan mengambil risiko, enggan untuk menyalurkan kredit.
Buyer yang lebih suka memesan ke­pada produsen yang mampu membi­ayai sendiri atau yang dapat mengurus pembiayaannya sendiri akan mencari pengusaha di negara lain di mana bank bersedia untuk menyalurkan kredit, bahkan mungkin piutang, pinjaman – dan akibatnya produsen Indonesia bisa dirugikan.


Sumber :
https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/07/04/peranan-letter-of-credit-lc-pada-perdagangan-internasional/
http://haryaniagusti.blogspot.com/2012/03/tugas-2-contoh-kasus-letter-of-credit.html
http://budelasg.blogspot.com/2013/05/contoh-kasus-letter-of-credit.html